Senin, 12 Juni 2023

SEJARAH PEMBARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA


Nama               : Wahyu Erman Hambali
NIM                : 17103050051
Prodi/Kelas     : Hukum Keluarga Islam/C
SEJARAH PEMBARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA
I.         Pengantar
     Tulisan ini merupakan review terhadap buku yang ditulis oleh prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M. A. Yang berjudul Hukum perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam (Yogyakarta: Academia, 2009) hlm. 101-156
II. Ringkasan
A.   Fakta Sejarah Lahirnya Undang-Undang
1. Negara-Negara Selat ( Pulau Pinang, Melaka dan Singapura)
     Undang-Undang tentang hukum keluarga dimulai dengan lahirnya Piagam Keadilan 1807. Tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dalam Mohamedan Marriage Ordinance, No. V tahun 1880. UU ini diperbarui tahun 1894, Mohamedan Marriage Ordinance( Amandement) No. XIII tahun 1894.  kemudian perbarui lagi tahun 1902, OrdinanceNo. XXXIV Of 1902. Kemudian diperbarui lagi tahun 1908 dengan The Muhammedan Marriage Ordinancetahun 1908. Perbaikan berikutnya dilakukan dengan lahirnya The Muhammedan Marriage OrdinanceNo. XVII Of 1909.  Pada tahun 1917 diperbarui lagi dengan The Muhammedan Marriage OrdinanceNo. 4 of 1917. UU ini  direvisi dan diperbarui yang melahirkan Ordinan No. 26, Revised Law 1926. Hingga akhirnya semua aturan dan pembaruannya  dimasukkan dalam Chapter 57 Revised Law of Straits Settltements tahun 1936. Ordinanceini dipakai sampai akhirnya lahir UU baru tahun 1959, yaitu dengan merdekanya negeri-negeri Selat (Malaka dan Pulau Pinang) bersama dengan negeri Melayu lainnya. Mereka membuat UU sendiri,  yang dikenal dengan The Administration Of Muslim Law Enactment No.1 tahun 1959.
2.  Negara-Negara Melayu Bersekutu
·         Perak
            Dimulai dari adanya Perjanjian Pangkor tahun 1874, yang memperkenalkan sistem Pentadbiran Residen. Kemudian muncul Ordinance1956 yang menetapkan pengadilan umum boleh  menggunakan  Common Law Inggris terhadap kasus-kasus yang tidak ada hukum tertulis.
            UU pertama yang diperkenalkan Inggris tentang perkawinan di negara-negara Melayu bersekutu adalah pada tahun 1885, dengan Registration Of Muhammadan Marriage And Divorces Enactment 1885, yang oleh Negeri Perak disahkan dengan Enakmen  No. 2 tahun 1900 Negeri Perak. Enakmen  1900 diperbarui tahun 1915 oleh negeri-negeri Melayu bersekutu lewat Enakmen  No. 2 Tahun 1915, diperbarui lagi dengan The Muhammadan and Divorce registration Enactment No.1 tahun 1927, dengan The Muslim Marriage And Divorce Registration (Amendement) Enactment 1957 No.2, dan dengan UU Pentadbiran Agama Islam 1965.
·         Selangor
            Enakmen  pertama di Selangor adalah Order In Council Of June 14, 1884. Tahun 1900 the Muhammadan Marriage And Divorce And Registration juga ditetapkan di Selangor dengan Enakmen  No. 8 of 1900. Kemudian Enakmen  tersebut diganti lagi tahun 1924, dengan The Muhammad Dan Marriage And Divorce Registration(Amendement) Enactment No 1 tahun 1924, diganti lagi dengan The Muhammad Dan Marriage And Divorce Registration Enactment 1930, dengan The Muhammad Dan Marriage And Divorce Registration Enactment  No.1 tahun  1932, diperbaiki lagi pada The Administration Of Muslim Law Enactment  No. 3 tahun 1952.
·         Negeri Sembilan
Undang-Undang yang pertama dikenalkan adalah The Muhammad Dan Marriage And Divorce Registration 1900 dengan Enakmen  No. 05 tahun 1900, yang kemudian diperbaiki tahun 1925 dan disatukan dalam  Administration Of Muslim Law Enactment  No.  15 tahun 1960.
·         Pahang
            The Muhammad Dan Marriage And Divorce Registration 1900 dengan Enakmen  No. 13 tahun 1900, merupakan enak men terawal yang diperkenalkan di Pahang. Enakmen  tersebut diperbaiki tahun 1950 dengan Enakmen  no. 1 tahun 1990, dengan Enakmen  no 1 tahun 1922, dengan enakmen No. 1 tahun 1924, yang kemudian menjadi UU Pendaftaran Perkawinan Dan Perceraian Chapter 197, dan diperbaiki lagi melalui Enakmen  No. 3 tahun 1949. Pada tahun 1951 diperbaiki dengan Enactment No.  2 tahun 1951 The Administration Of The Law Of The Religion Of Islam Enactment  No. 5 tahun 1956.
C.  Negara-Negara Melayu Tidak Bersekutu
·         Kelantan
            Undang-Undang pertama yang mengatur tentang perkawinan dan perceraian di Kelantan adalah The Divorces Regulation  of 1325 H (1907).  kemudian diadakan Undang-Undang baru dengan nama  Undang-Undang Orang Yang Hendak Bercerai Laki-Bini Dan Lain-Lainnya, 1327 H. No. 6 tahun  1327. Kemudian lahir juga Undang-Undang tentang Pendaftaran Perkawinan pada tahun 1911, dan Undang-Undang Poligami tahun 1914.  pada tahun 1916 Muncul lagi aturan baru The Notice On Matters Relating To Marriage, Divorce, Recohabitation, And Ta'lik, yakni Notice No. 18 tahun 1916. Kemudian semua Undang-Undang ini digabungkan ke dalam Enactment  no. 21 of 1938.
·         Terengganu
            UU pertama yang diperkenalkan adalah Undang-Undang pendaftaran perkawinan dan perceraian, yang dikenal dengan Undang-Undang Mendaftarkan Nikah Dan Cerai Orang-Orang Islam, Bil. 6 tahun 1340 H. Kemudian lahir UU Nusyuz, dan Mahkamah Kadi dengan Peraturan Bil. 2 tahun 1348 H. Setelah 10 tahun lahir Undang-Undang Nikah Balik (Rujuk) pada tahun 1947. Akhirnya pada tahun 1955 semua perundang-undangan yang pernah berlaku di kumpulkan menjadi satu menjadi Undang-Undang Pentadbiran Hukum Syara' No.4 tahun 1375 H.
·         Kedah
            Undang-Undang pertama di bidang perkawinan dan perceraian yang berlaku di Kedah adalah Muhammad Dan Marriages (Separation) Enactment 1332 H. Kemudian diperbarui dengan Enakmen  No. 10 tahun 1337 H.  akhirnya Undang-Undang di satukan dengan Undang-Undang lain yang pernah berlaku yang disebut The Administration  Of Muslim Enactment  no. 9 tahun 1962.
·         Perlis
            Undang-Undang pertama yang berlaku tentang perkawinan adalah Undang-Undang Syiqaq No. 9 tahun 1932 (1913). Kemudian digantikan dengan UU Mahkamah Syariah 1340. Pada tahun 1951 diperkenalkan hanya satu Undang-Undang yaitu The Muslim Laws (Amendement) Enactment No. 7 tahun 1951, yang dibatalkan dengan Enactment Pentadbiran Agama Islam No. 3 tahun 1964.
·         Johor
            Undang-Undang pertama tentang perkawinan dan perceraian yang diperkenalkan di Johor adalah The Muhammadan Marriage And Divorce And Registration Enactment No. 15 tahun 1914.  kemudian UU ini dirubah dengan the Muhammadan Marriage And Divorce And Registration Anactment  (Amendement) No. 13 tahun 1934, dengan Enakmen  no. 17 Undang-Undang tambahan (Suplement) 1939 Negeri Johor, dengan Enactment Pentadbiran Agama Islam No. 14 tahun 1978, dan dengan Enakmen  Pengubah-Suaian Pentadbiran  UU Isam tahun  1974.
B.     Fakta Sejarah Materi Pembaruan
            Di Negara-negara Selat terdapat OrdinanceXXV/1908 yang memperbaiki Ordinance No. V tahun  1880, berisi:
1. Kewajiban suami istri membuat pendaftaran perkawinan dan perceraian dalam tempo tujuh  hari setelah akad nikah, yang kalau dilanggar dapat dihukum dengan denda 25 ringgit;
2. Memberikan kuasa kepada governor melantik dan memecat kadi
3. Melantik kadi sebagai pembantu pendaftar perkawinan dan perceraian
4. Memberikan kuasa kepada kadi untuk menyelesaikan masalah nafkah yang tidak melebihi dari 50 Ringgit
5. Masalah lain yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian
            Adapun isi chapter 197 negara Selangor tahun 1945 adalah:
1. Sultan berhak melantik seseorang, baik atas nama pribadi atau jabatanan, menjelaskan akad nikah, dengan catatan setelah mendapat izin dari Wali perempuan
2. Wali berhak menikahkan wanita yang ada di bawah perwaliannya
3. Wali hakim berhak menikahkan seorang wanita jika wali nasab enggan menikahkan
            Adapun isi Notice No.15 tahun 1914 negara Kelantan adalah:
1. Siapa yang akan melakukan poligami kecuali keluarga raja, harus lebih dahulu membuat surat pernyataan di depan Pengadilan Agama (Mahkamah Syariah),  bahwa bersangkutan akan berlaku adil pada semua istrinya serta menanggung nafkah mereka
2. Bagi yang melanggar aturan ini dapat dihukum dan 100.00 ringgit atau penjara dua bulan
3. Orang yang hadir dan kadi dalam perkawinan tersebut dapat dihukum denda 200.00 ringgit atau tiga bulan penjara.
            UU Perlis No. 5 Tahun 1340, diantaranya berisi:
1. Pendaftaran perkawinan dan perceraian (pasal 3-7)
2. Pelanggaran mereka yang ingin kawin tanpa izin wali lebih dahulu (pasal 8)
3. Kesalahan rujuk setelah talak tiga (pasal 9)
4. Rujuk dalam talak raj'i tanpa lebih dahulu memberitahu Imam (pasal 10)
5.  durhaka kepada suami (pasal 12)
            Di Johor, The Muhammadan Marriage And Divorce Registration Enactment No. 15 tahun 1914, yang berisi:
1. Pelantikan Hakim (Kadi) atau Naib (pasal 4 dan 5)
2. Pendaftaran perkawinan, perceraian dan rujuk (pasal 7 i)
3. Denda bagi yang melanggar aturan tersebut (pasal 7 ii)
4. Jumlah Kemudian dalam pendaftaran tersebut (pasal 16)
C. Latar Belakang Fakta Sejarah Lahir
            Di Negara Negara Selat, latar belakang lahirnya piagam keadilan 1807 di negara-negara Selat adalah karena Inggris sudah menjajah negara-negara tersebut sejak tahun 1800, dan mulai memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang dan adat di wilayah jajahannya.  sedangkan latar belakang lahirnya the administration Of Muslim law Enactment No 1 tahun 1959 (Malaka), dan no3 tahun 1959 ( Pulau Pinang) adalah karena merdekanya kedua negara tersebut, dan masing-masing negara membuat Undang-Undang sendiri.
            Perak,  latar belakang Enactment 1900 berawal dari Enakmen  yang diperkenalkan kepada negara-negara Selat tahun 1885 yang kemudian juga diperkenalkan kepada negara-negara Melayu bersekutu.  sedangkan latar belakang UU Pentadbiran  agama Islam 1965, adalah karena adanya perubahan dan perbaikan Undang-Undang dari tahun ke tahun.
            Menurut catatan Ahilemah Jomed, berdasarkan pendahuluan dalam UU Perkawinan di Malaysia, pada pembaruan yang dilakukan tahun 1980-an dan 1990-an, masing-masing negara bagian mempunyai tujuan sendiri dalam pembentukan UU Perkawinannya. Bagi Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Akta Wilayah, pembentukan Undang-Undang perkawinan di daerah ini bertujuan untuk mengubah beberapa hal di bidang perkawinan, perceraian, nafkah, hadanah dan perkara-perkara lain yang berhubungan dengan kehidupan keluarga. Maka pembentukan di sini hanya mengubah sebagian saja.
            Di negara Terengganu terdapat Undang-Undang Pentadbiran  Hukum Syara' No. 4 Tahun 1375 H.   Latar belakang adanya undang-undang tersebut adalah untuk mengumpulkan semua perundang-undangan yang pernah berlaku di Terengganu (bukan hanya di bidang perkawinan). Walaupun  akhirnya UU tersebut dihapus  dengan Enactment  No. 2 tahun  1964.
            UU Keluarga Kedah bertujuan untuk menyatukan Undang-Undang yang berkaitan dengan keluarga Islam dalam bidang perkawinan, perceraian, nafkah hadanah dan perkara-perkara lain supaya menjadi lebih terkesan. Berarti bertujuan untuk membuat suatu peraturan yang komprehensif dan agar Undang-Undang tersebut dipatuhi dan diikuti.
            Sementara Kelantan, selain untuk penyatuan juga untuk memperbaharu Undang-Undang yang ada. Akhirnya disimpukan Joned, tujuan pembentukan PerUndang-Undangan di bidang perkawinan di Malaysia adalah untuk meniggikan status wanita atau mengubah peraturan Hukum Syaria’ah mengenai keluarga. 
D.    Latar Belakang Fakta Materi Pembaruan (turan baru)
            Sebelum adanya Chapter 197 tahun 1935 belum diatur tentang perwalian. kemudian setelah adanya Chapter 197  beberapa hal-hal tentang perwalian sudah diatur, salah satunya tentang wali hakim yang berhak menikahkan wanita jika wali nasabnya enggan menikahkan.
            Sama halnya di negara Kelantan terdapat Undang-Undang Orang yang Hendak Bercerai Laki-Bini dan lain-lainnya, di dalamnya belum diatur tentang poligami. Hal-hal tentang poligami baru diatur kemudian dalam Notice No. 15 tahun 1914.
            Di negeri Johor, Enactment No. 15 tahun 1914 berisi tentang jumlah bayaran dalam pendaftaran perkawinan, cerai, dan rujuk, akan tetapi belum dijelaskan secara tepat berapa nominalnya. Kemudian dalam amandemen No 13 tahun 1934 barulah ditentukan bayaran pendaftaran perkawinan, perceraian dan rujuk, yakni 75 cent sampai 1 ringgit.
E.     Evaluasi Target Pencapaian
`           Meskipun Enakmen UU Keluarga Islam Malaysia yang lahir tahun 1980-an tidak boleh dilakukan amandemen sampai lahirnya Enakmen UU keluarga Islam Malaysia yang lahir tahun 2000-an,  tetap saja ada usaha amandemen kecil-kecilan.  Misalnya aturan poligami yang menurut aturan Enakmen  Undang-Undang Keluarga Islam Persekutuan 1984, pasal 123, bahwa siapa saja yang melakukan poligami tanpa persetujuan Pengadilan Agama lebih dahulu tidak boleh didaftarkan. Aturan ini dirasakan menimbulkan masalah anak dan isteri. Maka atas desakan masyarakat aturan ini dirubah dengan aturan, perkawinan poligami tanpa persetujuan Pengadilan Agama lebih dahulu dapat didaftarkan dengan syarat laki-laki yang bersangkuta lebih dahulu membayar denda sebagai hukuman atas perbuatannya melakukan poligami sebelum mendapatkan ijin dari pengadilan. Negara yang pertama kali melakukan amandemen terhadap pasal ini adalah Kelantan tahun 1985, kemudian Selangor tahun1989, Negeri Sembilan tahun 1991, Wilayah Persekutuan dan Pulau Pinang tahun 1994. Sementara Malaka, Kedah, Perak, Pahang, Johor dan Sabah, tidak melakukan amandemen terhadap pasal ini. Artinya, perkawinan poligami yang belum mendapatkan persetujuan Pengadilan Agama lebih dahulu tidak akan boleh didaftarkan.

Kamis, 23 April 2020

RESENSI BUKU PEDOMAN PELAKSAAN TUGAS HAKIM TINGGI PERDILAN AGAMA


RESENSI BUKU
PEDOMAN PELAKSAAN TUGAS HAKIM TINGGI PERDILAN AGAMA

Resensi ini disusun guna memenuhi tugas pengganti UAS mata kuliah Administrasi Peradilan
Dosen Pengampu:
Dr. Malik Ibrahim, M.Ag.
Nip. 19660801 199303 1 002












Disusun Oleh:
Wahyu Erman Hambali
17103050051


HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAMNEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2019

KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan keimanan dan keikhlasan kepada kita, selamat dan sejahtera atas junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW dan keluarga serta sahabatnya. sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul “Resensi Buku Pedoman Pelaksaan Tugas Hakim Tinggi Perdilan Agama” (karya Dr. H. A. Mukti Arto, S.H., M.Hum.) ini dengan baik tanpa ada halangan.
Resensi satu buku ini secara umum berisi mengenai pedoman pelaksaan di Pengadilan Agama. Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata perkuliahan Administrasi Peradilan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada bapak Dr. Malik Ibrahim, M.Ag. selaku Dosen mata perkuliahan Administrasi Peradilan yang telah banyak membantu kami dalam penyelesaian tugas ini.  Selain itu, kami berharap semoga resensi buku ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan menjadi referensi untuk menambah pengetahuan umum.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna dan masih memerlukan perbaikan, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun dan tentunya dapat dijadikan masukan guna perbaikan untuk laporan berikutnya.



Yogyakarta, 22 April 2020

                                                                                                Penulis



DAFTAR ISI





IDENTITAS BUKU


Judul                    : Pedoman Pelaksaan Tugas Hakim Tinggi Perdilan Agama
Penulis                 : Dr. H. A. Mukti Arto, S.H., M.Hum.,
ISBN                    : 978-602-229-387-3
Cetakan                : Cetakan I (Pertama), Mei 2015
Penerbit                : Pustaka Pelajar
Tempat Terbit      : Yogyakarta
Tahun Terbit        : 2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Latar belakang penulisan buku ini adalah karena ingin menyamakan persepsi para hakim tinggi yang bertalian dengan prosedur dan administrasi pelaksanaan Trilogi tugas pokok dan fungsi hakim tinggi di tingkat banding. Kemudian untuk mendukung pelaksanaan misi Mahkamah Agung guna mempercepat tercapainya visi Mahkamah Agung.

B.     Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan buku ini adalah memberi rumusan baku landasan dan panduan praktis mengenai prosedur dan administrasi pelaksanaan  ideologi tugas pokok dan fungsi hakim tinggi di tingkat banding. Selain itu, adanya buku ini bertujuan untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas hakim tinggi dengan prinsip memberi jaminan kemerdekaan bagi hakim tinggi dalam memeriksa dan mengadili perkara agar dapat memberi pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan.

C.    Sistematika Buku

DAFTAR ISI -hlm. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang –hlm. 1
Mahkamah Agung Republik Indonesia selaku lembaga yudikatif yakni pelaku kekuasaan kehakiman telah menetapkan visinya yaitu “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung.” Kemudian misi yaitu:
1.      Menjaga kemandirian badan peradilan,
2.      Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan,
3.      Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan, 
4.      Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.
Mahkamah Agung mengemban peran kenegaraan yang meliputi Peran Ideologis, Peran Politis, Peran Yuridis, dan Peran Sosiologis.
B.     Tugas dan Kewenangan PTA/MSA –hlm.4
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia bertugas dan berwenang untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Syariah Islam.
PTA/MSA sebagai pengadilan negara merupakan pengadilan tingkat banding dalam lingkungan Peradilan Agama di bawah Mahkamah Agung juga mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai kawal depan Mahkamah Agung di daerah hukumnya. Tugas dan kewenangan PTA/MSA diatur dalam pasal 51, 52, dan 53 UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah pertama dengan UU Nomor 3 tahun 2006 dan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 jo pasal 128 UU Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh jo pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
C.    Trilogi Tugas Pokok dan Fungsi Hakim Tinggi –hlm.7
Semua tugas dan kewenangan Hakim tinggi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu tugas yudisial, tugas struktural, dan tugas konseptual. Sebagai hakim banding dan kawal depan Mahkamah Agung maka hakim tinggi mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai: 1) pemeriksa perkara, 2) pembina dan pengawas dan pelaksana penanganan pengaduan, dan 3) pemikir dan pelaku pembaruan. Tiga jenis tugas hakim tersebut dapat diistilahkan dengan Trilogi Tugas dan Pokok dan Fungsi Hakim Tinggi.
D.    Dasar Hukum –hlm.9
1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.      UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
3.      UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah pertama dengan UU Nomor 3 tahun 2006 dan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009
4.      UU Nomor 20 Tahun 1947 Tentang Pengadilan Ulangan
5.      Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 96 tahun 2006 tentang Tanggung Jawab Ketua Pengadilan Dalam Melaksanakan Pengawasan, dll.
E.     Tujuan Penyusunan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Hakim Tinggi –hlm.11
Setidaknya ada beberapa tujuan penyusunan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Hakim Tinggi, yaitu memberi rumusan baku mengenai Trilogi tugas pokok dan fungsi hakim tinggi, juga untuk memberikan panduan praktis mengenai prosedur dan administrasi pelaksanaan Trilogi tupoksi hakim tinggi, dll

BAB II
HAKIM TINGGI PEMERIKSA PERKARA
A.    Pengadilan Ulangan –hlm.15
Pengadilan ulangan adalah proses memeriksa, mempertimbangkan, dan memutuskan ulang pada tingkat banding atas perkara yang telah diperiksa, dipertimbangkan, dan diputus oleh pengadilan tingkat pertama mulai dari start sampai finish. Pengulangan tersebut meliputi pemeriksaan:
1.      Administrasi perkara,
2.      Syarat formil perkara,
3.      Upaya damai yang dilakukan secara langsung maupun melalui proses mediasi,
4.      Konstatiring,
5.      Kualifinishing,
6.      Konstituiring,
7.      Prosedur dan administrasi persidangan, dan
8.      Mutasi biaya perkara,
B.     Hakim Tinggi Pemeriksa Perkara –hlm.17
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang a. perkawinan, b. waris, c. wasiat, d. hibah, e.  wakaf, f.  zakat, g. infaq, h. shodaqoh, dan i. ekonomi syariah (pasal 49 UU Nomor 3 tahun 2006).
PTA/MSA bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan PA/MS, dalam tingkat banding (pasal 51 ayat 1 UU-PA). Tugas pokok majelis hakim tingkat banding (MHTB) adalah memberi pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan pada tingkat banding.
C.     Prosedur Administrasi Perkara Banding –hlm.21
1.      Upaya hukum banding hanya dapat dilakukan dalam tenggang waktu banding, dihitung empat belas hari kalender terhitung mulai satu hari setelah yang bersangkutan menerima pemberitahuan isi putusan,
2.      Panitera PA/MS wajib mengirimkan berkas banding kepada PTA/MSA selambat-lambatnya 30 hari setelah hari tanggal akta banding dibuat,
3.      Kemudian  panitera muda banding meneliti kelengkapan berkas administrasi proses banding, jika sudah lengkap maka dilanjutkan dengan pengadministrasian perkara banding,
4.      Administrasi berkas banding ini meliputi Berkas Bundel A dan Berkas Bundel B. Administrasi banding dalam berkas bundel B berisi; salinan resmi putusan yang dibanding, relaas pemberitahuan isi putusan kepada para pihak yang tidak hadir dalam sidang putusan, surat kuasa khusus untuk banding, bukti pembayaran, akta permohonan, dll.
5.      Setelah biaya banding dicatat di dalam jurnal banding, perkara mendapatkan nomor perkara untuk kemudian dicatat dalam register perkara banding,
6.      Selanjutnya ketua PTA/MSA menetapkan majelis hakim dengan PMH untuk  menyidangkan perkara dengan dibantu oleh atau lebih panitera pengganti yang ditunjuk oleh panitera PTA/MSA,
7.      Ketua MHTB setelah bermusyawarah dengan anggota segera menetapkan hari sidangnya dengan PHS untuk memusyawarahkan perkara tersebut,
8.      Pengucapan putusan hanya dapat dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum,
9.      Sesaat setelah putusan dibacakan, surat putusan segera ditandatangani oleh majelis hakim dan panitera pengganti,
10.  Ketua MHTB membuat AMP  yang ditandatangani ketua MHTB  dan panitera pengganti untuk diserahkan ke petugas meja II guna pencatatan dalam register, untuk diserahkan ke kasir guna pembukuan jurnal,
11.  Tiap-tiap perkara banding harus sudah diputus paling lambat 3 bulan sejak perkara didaftar di register tingkat banding,
12.  Jika ada pemeriksaan tambahan, maka waktu pemeriksaan tambahan tidak termasuk dihitung 6 bulan,
13.  Jika dalam waktu 6 bulan perkara belum diputus maka harus dilaporkan ke Mahkamah Agung disertai  alasannya.
D.    Kedudukan MHTB  Terhadap Perkara –hlm.24
MHTB  bertugas dan berwenang untuk:
1.      Memeriksa apakah proses beracara pada tingkat pertama tidak melanggar hukum acara yang berakibat batal demi hukum untuk kemudian diperbaiki, dilengkapi, dan disempurnakan pada tingkat banding.
2.      Mengatur ulang perkara yang telah diperiksa dipertimbangkan dan diputus oleh MHTP untuk kemudian diperiksa dipertimbangkan dan diputus ulang pada tingkat banding.
E.     Prosedur Pemeriksaan Perkara Banding –hlm.27
·         Memeriksa kelengkapan administrasi pendaftaran perkara Pada tingkat banding yang meliputi;

  • surat keterangan dari panitera bahwa perkara sudah terdaftar pada tingkat banding
  • surat pengantar berkas banding yang ditandatangani oleh panitera PA/MS
  • akta permohonan banding dalam bundel B
  • surat kuasa khusus untuk banding (jika pernyataan banding diwakili oleh kuasa hukum), dll

·         Memeriksa kelengkapan bundel B untuk banding,
·         Memeriksa administrasi perkara pada tingkat pertama,
·         Memeriksa prosedur dan administrasi persidangan tingkat pertama,
·         Memeriksa minutasi berkas perkara bundel A,
·         Memeriksa kompetensi absolut PA/MS pemeriksa perkara,
·         Memeriksa upaya damai  tingkat pertama,
·         Memeriksa legal standing para pihak yang berperkara,
·         Memeriksa Eksepsi,
·         Memeriksa positum  dan posita,
·          Memeriksa alat bukti,
·         Menyimpulkan secara singkat kronologi kasus berdasarkan fakta hukum yang ada,
·         Mempertimbangkan ulang pemeriksaan, pertimbangan, dan amar putusan MHTP,
·         Membuat kesimpulan akhir hasil pemeriksaan ulang,
·         Mempertimbangkan biaya perkara,
·         Mengambil keputusan,
·         Membuat konsep surat keputusan,
·         Mengucapkan keputusan dalam sidang terbuka untuk umum,
·         Menandatangani putusan,
·         Minutasi berkas perkara tingkat banding,
F.     Musyawarah Dan Sidang Putusan MHTB –hlm.40
Musyawarah dilakukan dalam sidang tertutup dan bersifat rahasia. Dalam musyawarah pengambilan keputusan, masing-masing anggota majelis hakim wajib memberi "pertimbangan dan pendapat secara tertulis." Pendapatan pertimbangan hakim harus memuat alasan hukum, dasar hukum, dan sumber hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Musyawarah hakim dapat diikuti oleh panitera pengganti atau tanpa panitera pengganti. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah mufakat.  jika tidak ada kesepakatan,  keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
G.    Fungsi Putusan Banding Terhadap Putusan Tingkat Pertama –hlm.43
Putusan PTA/MSA memiliki fungsi untuk:
1.      Mengukuhkan/menguatkan putusan PA/MS,
2.      Menggantikan putusan PA/MS,
3.      Menyempurnakan dan atau memperbaiki putusan PA/MS,
4.      Melengkapi kekurangan putusan PA/MS.
H.    Prosedur Permohonan Izin Banding Prodeo –hlm.47
Pelayanan permohonan izin banding secara prodeo dilaksanakan sebagai berikut:
1.      Permohonan izin banding secara prodeo diajukan di kepaniteraan PA/MS setempat dengan melampirkan surat-surat bukti yang sah,
2.      Permohonan dicatat dalam buku khusus untuk itu ,
3.      Permohonan izin banding secara prodeo diperiksa oleh Hakim dan PP yang ditunjuk dan dibuat BAS,
4.      BAS dikirim ke PTA/MSA yang akan memeriksa perkara banding dimaksud untuk mendapat penetapan.
I.       Pencabutan Perkara Banding –hlm.50
Perkara banding hanya dapat dicabut oleh pembanding atau kuasanya yang diberi kuasa istimewa untuk itu. Apabila pencabutan banding dilakukan oleh kuasa hukumnya, maka permohonan pencabutan harus ditandatangani pula oleh pembanding in persona. Permohonan pencabutan banding disampaikan kepada panitera PA/MS pemeriksa perkara, kemudian panitera membuat akta permohonan pencabutan banding yang juga ditandatangani oleh pembanding. Panitera PA/MS segera mengirimkan akta permohonan pencabutan banding yang dimaksud ke PTA/MSA untuk diproses.  Dengan  dicabutnya permohonan banding, maka putusan PA/MS menjadi BHT.
J.      Perdamaian Pada Tingkat Banding –hlm.51
Ada dua jenis perkara dalam perdamaian di tingkat banding, itu perkara kebendaan dan perkara perceraian.
K.    Penyelesaian Sengketa Kewenangan Mengadili Antar PA/MS Dalam Satu Daerah Hukum PTA/MSA –hlm.51
Penyelesaian sengketa kewenangan mengadili antar PA/MS dilaksanakan dengan mengacu pada tata cara sebagai berikut:
1.      PTA/MSA bertugas dan berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar PA/MS di daerah hukumnya ( pasal 51 ayat (2) UU Peradilan Agama)
2.      Sengketa kewenangan mengadili terjadi apabila ada antara pihak-pihak yang sama dalam perkara yang sama dan dalam waktu yang sama diajukan perkaranya kepada dua PA/MS atau lebih yang berbeda dimana masing-masing PA/MS masih memproses perkaranya dan belum ada yang menjatuhkan keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
L.     Sengketa Kewenangan Mengadili Antara PTA/MSA Pelaksana Perkara Dengan PTA/MSA Lain Atau PTB Lain –hlm.55
Penyelesaian sengketa kewenangan mengadili antara PTA/MSA dengan PTA/MSA lain atau PTB lain di luar lingkungan Peradilan Agama, dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: 1.) Sengketa kewenangan mengadili diketahui apabila ada keberatan dari para pihak yang telah mengajukan perkara yang sama ke PA/MS di luar daerah hukum PTA/MSA setempat atau pengadilan lain di luar lingkungan Peradilan Agama yang menurutnya berwenang mengadili perkara itu. 2.) PTA/MSA pemeriksa perkara melakukan konfirmasi secara tertulis kepada PT lain untuk mengetahui kebenaran tersebut. 3.) Setelah menerima surat tersebut pemeriksaan akan dihentikan dan kemudian mengajukan permohonan penetapan sengketa kewenangan mengadili ke Mahkamah Agung. 4.) Setelah mendapat penetapan mengenai pengadilan mana yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili, PTA/MSA pemeriksaan perkara segera melanjutkan pemeriksaan berdasarkan penetapan Mahkamah Agung tersebut.

BAB III
HAKIM TINGGI PEMBINA DAN PENGAWAS DAN PELAKSANA PENGADUAN
  1. Hakim Tinggi Pembina Dan Pengawas –hlm.58
Hakim tinggi tanpa mana pengawas mempunyai tugas pokok yaitu Membina dan mengawasi agar setiap pengadilan di daerah hukumnya mampu untuk:
1.      Menjaga kemandirian badan peradilan,
2.      Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan,
3.      Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan,
4.      Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan,
Pembina dan pengawas hakim tinggi dibagi menjadi dua jenis,  pembinaan dan pengawasan bidang dan pembinaan dan pengawasan daerah.
  1. Pelaksanaan Pembinaan Dan Pengawasan –hlm.60
Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan didasarkan pada pasal 53 UU Peradilan Agama, surat keputusan ketua Mahkamah Agung nomor 145/KMA/SK/VII/2007 tentang Memperlakukan Buku IV Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Di Lingkungan Lembaga Pengadilan.
Pembina dan pengawas pelaksanaan dalam tugas pokok dan fungsinya dan tingkah laku aparat pengadilan dapat dilaksanakan dengan cara-cara sebagai berikut:
·         Pembina dan pengawas langsung ke lokasi objek,
·         Pembina dan pengawas tidak langsung dengan melalui: website, laporan, eksaminasi putusan, inventarisasi temuan-temuan pada berkas perkara, bimbingan teknis, dan penanganan pengaduan.
  1. Hakim Tinggi Pelaksana Penanganan Pengaduan –hlm.71
Hakim tinggi pelaksana penanganan pengaduan adalah Hakim yang diberikan tugas oleh ketua PTA/MSA untuk menerima dan melaksanakan penanganan pengaduan. Tugas pokoknya adalah menyelesaikan setiap pengaduan masyarakat secara profesional demi menjaga citra dan wibawa pengadilan dan menjaga kepercayaan masyarakat kepada pengadilan.
  1. Pelaksanaan Penanganan Pengaduan –hlm.72
1.      Semua pengaturan yang diterima oleh PA/MS, PTA/MSA dan MA harus disampaikan kepada dan diketahui oleh badan pengawas Mahkamah Agung.
2.      PTA/MSA dapat menangani pengaduan baik atas inisiatif sendiri atau atas perintah Mahkamah Agung terhadap pengaduan yang melibatkan unit kerja atau aparat di PTA/MSA atau PA/MS di bawahnya.
3.      Pelaksana penanganan pengaduan di PTA/MSA dipimpin oleh pimpinan PTA/MSA dan Hakim tinggi dengan dibantu oleh panitera muda hukum yang bertugas melaksanakan fungsi kesekretariatan.
4.      Pengaduan hanya dapat diterima dan ditandatangani apabila disampaikan secara tertulis.
5.      Penerimaan pengadaan dilaksanakan oleh  meja pengaduan kemudian mencatat waktu, identitas, dan nomor pengaduan dalam buku  pengaduan.
6.      Panitera muda hukum menyampaikan pengaduan tersebut kepada pimpinan PTA/MSA.
  1. Pelaporan, Rekomendasi, dan Tindak Lanjut –hlm.77
Laporan hasil pemeriksaan harus sudah diselesaikan selambat-lambatnya 14 Hari setelah selesainya pemeriksaan. Ada tiga bentuk laporan hasil pemeriksaan,  yaitu: laporan bentuk panjang yang terdiri dari bab-bab, laporan bentuk panjang yang terdiri dari bagian-bagian, dan laporan bentuk pendek.

BAB IV
HAKIM TINGGI PEMIKIR DAN PELAKU PEMBARUAN
  1. Hakim Tinggi Pemikir Dan Pelaku Pembaruan –hlm.82
            Hakim tinggi pemikir  pembaruan adalah hakim tinggi yang cerdik dan pandai yang pemikirannya memberi manfaat kepada orang lain dengan mencitpakan sesuatu yang lebih baik di bidang hukum peradilan.  Tugas   pokoknya adalah sebagai pemikir dan pelaku pembaharuan hukum dan peradilan demi terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung.
  1.  Pelaksanaan Tugas Hakim Tinggi Pemikir dan Pelaku Pembaruan –hlm.84
 Tugas dan fungsi sebagai pemikir dan pelaku pembaharuan adalah
1.      Mengkaji dan menindaklanjuti temuan-temuan yang diperoleh dalam pemeriksaan perkara,
2.      Melakukan kajian-kajian di kalangan para hakim tinggi mengenai isu terkini,
3.      Mengembangkan pembaruan konsep-konsep hukum berdasarkan sifat dan tuntunan Syariah Islam, falsafah Pancasila dan hukum yang hidup dalam masyarakat,
4.      Siap menjadi narasumber dalam berbagai kegiatan di daerah hukumnya maupun di luar daerah hukumnya,
5.      Mengembangkan kreativitas dalam melakukan peningkatan kualitas SDM,
6.      Meningkatkan peran dan fungsi hakim tinggi, dll.
  1. Administrasi Dan Dokumentasi Pelaksanaan Tugas –hlm.86
Pelaksanaan tugas hakim tinggi sebagai pengatur dan pelaku pembaruan harus di administrasikan dan di dokumentasikan dengan tertib. Administrasi dan dokumentasi kegiatan hakim tinggi dikendalikan di kepaniteraan hukum PTA/MSA. Kajian  hukum dilakukan secara mandiri, dan objek kajiannya bertalian dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Hasil kajian kemudian disosialisasikan dalam forum terbuka yang dapat dihadiri oleh semua pegawai atau masyarakat yang berminat
BAB VI
PENUTUP –hlm.89


D.    Sasaran Penulisan Buku

Semua kalangan yang membutuhkan informasi terkait Perdilan Agama, baik itu pelajar/mahasiswa, guru/dosen, para profesi hukum, bahkan hakim.

E.     Urgensitas Buku

Buku ini mempunyai urgensitas yang sangat berguna untuk memberikan informasi terkait aturan pelaksanaan trilogi tugas pokok dan fungsi hakim tinggi di Pengadilan Agama. Buku ini ditulis untuk memberikan rumusan baku landasan dan panduan praktis mengenai prosedur dan pelaksanaan administrasi di Pengadilan Agama.
Banyak sekali tulisan dalam bentuk artikel maupun jurnal yang terkait dengan peradilan, menggunakan buku ini sebagai rujukan utama sebagai bahan tulisan mereka. Tidak sedikit pula perkuliahan yang menjadikan buku ini sebagai materi dalam proses pembelajaran. Pembahasan materi tentang hukum tidak akan terlepas dari lembaga penegak hukum layaknya Peradilan Agama.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kelebihan Dan Kekurangan

Kelebihan buku Pedoman Pelaksaan Tugas Hakim Tinggi Perdilan Agama adalah dari substansi atau isi pembahasannya. Penjelasannya cukup untuk menggambarkan secara umum mengenai ketentuan dan prosedur/tata cara pelaksanaan administrasi peradilan. Semuanya dibahas dari awal administrasi hingga pemeriksaan dan putusan titulis dalam buku tersebut. Bahasa yang dipakai oleh penulis dalam buku tersebut juga ringan dan jarang menggunakan istilah asing, sehingga memudahkan pembaca untuk memahami isi penjelasan dari buku tersebut.
Kekurangan dari buku tersebut adalah terletak dalam teknis penulisan susunan kalimat dan pengetikan atau tata letak yang digunakan. Penjelasan yang digunakan di buku tersebut menggunakan penjelasan per-poin,  tidak menggunakan kalimat paragraf yang deskriptif.  Selain itu tidak disebutkan adanya footnote sebagai sumber rujukan yang digunakan dalam penulisan buku tersebut.

B.     Kritik dan Saran

Segala kekurangan yang terkait buku ini baik dari sampul, isi, hingga daftar pustaka, harap menjadi pembenahan agar buku ini menjadi lebih baik lagi. Buku ini masih juga kurang banyak materinya tentang Lembaga Peradilan Agama.
Saran penulis terhadap buku yang direnensi ini adalah agar buku ini diperbaiki mengenai hal-hal yang membuat buku ini menjadi kurang kualitansnya. Pembahasan mengenai Lembaga Peradilan Agama jika bisa diperdalam lagi, agar dapat menambah kualitas buku, sehingga ilmu yang didapatkan pembaca tidak setengah-setengah.

C.    Perbandingan Buku


No
Judul Buku

Penulis
Penerbit
Kota dan Tahun
1.
Pedoman Pelaksaan Tugas Hakim Tinggi Perdilan Agama
 (Buku Primer)
Dr. H. A. Mukti Arto, S.H., M.Hum.,
ISBN
Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 2015
2.
Peradilan Agama di Indonesia
(Buku Sekunder I)

Abdullah Tri Wahyudi, S.Ag., SH.
Pustaka Pelajar

Yogyakarta, 2004

3.
Hukum Acara Peradilan Agama
(Buku Sekunder II)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 2007
4.
Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya
(Buku Sekunder III)
Andi Tahir Hamid, S.H

Sinar Grafika

Jakarta, 1996


5.
Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia
(Buku Sekunder IV)

Dr. H. Jaenal Aripin, M.Ag

Kencana Prenada Media Group

Jakarta, 2013
6.
Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia.
(Buku Sekunder V)
Drs. M. Fauzan, SH., MM.
Pranada Media
Bandung,
1991




No
Aspek
Buku
1.       
Latar Belakang Penulisan
Buku Primer
Latar belakang penulisan buku ini adalah karena ingin menyamakan persepsi para hakim tinggi yang bertalian dengan prosedur dan administrasi pelaksanaan Trilogi tugas pokok dan fungsi hakim tinggi. Kemudian untuk mendukung pelaksanaan misi Mahkamah Agung guna mempercepat tercapainya visi Mahkamah Agung.

Buku Sekunder I
Alasan penulisan buku ini adalah karena buku buku referensi tentang Peradilan Agama belum begitu banyak sehingga dengan adanya buku ini dapat menambahkan khazanah referensi buku tentang Peradilan Agama.

Buku Sekunder II
Sebagai bahan kajian dalam rangka memantapkan sistem hukum nasional.

Buku Sekunder III
Buku ini di tulis untuk menjelaskan perkembangan-perkembangan yang terjadi pada Peradilan Agama.

Buku Sekunder IV
Buku ini ditulis dalam rangka ulang tahun yang ke-130 tahun kelahiran Peradilan Agama

Buku Sekunder V
Pokok-Pokok Hukum Acara PA dan Mahkamah Syari’ah yang memberikan pemahan mendalam akan Pasal-pasal acara dalam peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya

2.       
Kedalaman dan Keluasan Isi Buku
Buku Primer
buku ini membahas  pedoman dan tata cara beracara di pengadilan agama. Bahasan yang diterangkan dalam buku tersebut meliputi prosedur administrasi, pemeriksaan,  hingga putusan pada tingkat banding.

Buku Sekunder I
Pada awal bahasanya, buku ini menjelaskan tentang sejarah Peradilan Agama. Tetapi juga terdapat materi yang menyinggung tentang administrasi di peradilan agama, namun tidak terlalu terperinci.

Buku Sekunder II
Menguraikan masalah etika hakim yang beragama Islam, terobosan hukum acara peradilan Islam yang dapat dipilih oleh hakim dalam menentukan keadilan terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya

Buku Sekunder III
Menjelaskan hal baru mengenai perubahan  yang terjadi pada bidang-bidang yang ada pada Peradilan Agama.

Buku Sekunder IV
Buku ini ditulis dalam rangka ulang tahun yang ke-130 tahun kelahiran Peradilan Agama

Buku Sekunder V
Disusunnya buku ini dengan mensistematisir seluruh pasal-pasal acara dalam peraturan perundang-undangan dan mengklasifisir tahapan permasalahan acara dalam Acara Perdilan Agama

3.       
Tujuan Penulisan
Buku Primer
Tujuan dari penulisan buku ini adalah memberi rumusan baku landasan dan panduan praktis mengenai prosedur dan administrasi pelaksanaan  ideologi tugas pokok dan fungsi hakim tinggi. Selain itu, adanya buku ini bertujuan untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas hakim tinggi dengan prinsip memberi jaminan kemerdekaan bagi Hakim tinggi dalam memeriksa dan mengadili perkara agar dapat memberi pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan.

Buku Sekunder I
Tujuan penulisan buku ini adalah agar dapat dijadikan pedoman bagi mahasiswa yang sedang menempuh mata kuliah Peradilan Agama di Indonesia maupun siapa saja yang berminat untuk mempelajari Peradilan Agama di Indonesia dan dapat menambahkan khazanah referensi buku tentang Peradilan Agama.

Buku Sekunder II
Menjadi bahan kajian bagi intelektual muda dan penegak hukum di masa depan yang memerlukan materi hukum agar dapat meluas cakrawala pengetahuannya

Buku Sekunder III
Memberikan informasi terkait perkembangan Peradilan Agama

Buku Sekunder IV
Menceritakan perjalanan Peradilan Agama dari masa ke masa

Buku Sekunder V
Untuk menjadikan PA benar-benar menjalankan fungsi dan tugas nya ssesuai dengan pasal-pasal yang sudah dibuat dan unsur-unsur yang terkandung dalam pasal tersebut serta dengan proses acara yang sedang berjalan.
4.       
Sasaran Pembaca
Buku Primer
Semua kalangan yang membutuhkan informasi terkait Perdilan Agama, baik itu pelajar/mahasiswa, guru/dosen, para profesi hukum, bahkan hakim.

Buku Sekunder I
Sasaran penulisan buku ini adalah kepada para mahasiswa khususnya untuk mempelajari lebih dalam terkait Peradilan Agama. Selain mahasiswa, buku ini juga diperuntukkan kepada para pemerhati hukum, pencari keadilan, dan juga siapa saja yang berminat untuk mempelajari Peradilan Agama di Indonesia.

Buku Sekunder II
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan mahasiswa Fakultas Hukum Jurusan Hukum Islam

Buku Sekunder III
Sasaran penulisan buku adalah untuk para pelajar di tingkat universitas

Buku Sekunder IV
Semua kalangan yang membutuhkan informasi terkait Perdilan Agama

Buku Sekunder V
Terutama para Hakim, Advokat, Dosen dan Mahasiswa




BAB III
PENTUP


Dengan adanya buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Hakim Tinggi bukan berarti semua tugas hakim tinggi sudah ditata dengan final dan sempurna. Masih banyak lagi agenda di luar ini yang masih harus disempurnakan. Oleh sebab itu, diharapkan kepada semua orang yang tinggi untuk terus melakukan kajian dan pembaruan hukum dan peradilan seiring dengan perkembangan teknologi dan kemajuan masyarakat.
            Sebagaimana telah dikemukakan, diharapkan dengan adanya Pedoman Pelaksanaan Tugas Hakim Tinggi yang memuat teori tugas pokok dan fungsi hakim tinggi ini para hakim tinggi dapat meningkatkan pelaksanaan tugas secara profesional dan proporsional.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Jauziyah, Ibnul Qayyim, Hukum Acara Peradilan Islam,  Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007
Aripin, Jaenal,  Jejak Langkah Peradilana Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013
Arto, Mukti. 2015. Pedoman Pelaksaaan Tugas Hakim Tinggi Peradilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fauzan, M, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia, Bandung : Pranada Media, 1991
Hamid, Andi Tahir, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Jakarta : Sinar Grafika, 1996.
Wahyudi, Abdullah Tri, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

,
,

 

CURICULUM VITAE


Nama               : Wahyu Erman Hambali
TTL                 : Purbalingga, 14 Februari 2000
Alamat            : Baleraksa 03/05, Karangmoncol, Purbalingga
Jenis Kelamin  : Laki-laki
Agama             : Islam
No. Hp            : 0857-8672-2212
Email               : wahyuerman55@gmail.com
Riwayat Pendidikan
·         RA Baleraksa 01 (2003-2005)
·         MI Ma’arif NU 01 Baleraksa (2005-2011)
·         MTs Ma’arif NU 04  Tamansari (2011-2014)
·         MAN Purbalingga (2014-2017)
Riwayat Organisasi
·         HMI Komisariat Tarbiah dan Keguruan
·         KOPMA UIN Sunan Kalijaga           
·         Kopontren Al-munawwir
·         HMPS HKI


SEJARAH PEMBARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA

Nama                : Wahyu Erman Hambali NIM                 : 17103050051 Prodi/Kelas      : Hukum Keluarga Islam/C SEJARAH PEMB...