Rabu, 15 April 2020

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA (HUKUM ACARA) DI PTUN

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA (HUKUM ACARA) DI PTUN

Dosen Pengampu:
Andriyani Masithoh, SH., M.H













Disusun Oleh:

Wahyu Erman Hambali
Nim : 17103050051



HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2019




BAB I
P
ENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

PTUN memiliki hukum acara sendiri layaknya pidana dan perdata. Hukum acara PTUN adalah rangkaian peraturan peraturan yang memuat cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum Tata Usaha Negara.
Tulisan ini dibuat untuk membahas alur penyelesaian sengketa di  PTUN, dimulai dari pengajuan gugatan hingga berakhir pada putusan. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat baik itu untuk menulis sendiri maupun untuk orang lain.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana alur/tahapan penyelesaian sengketa di PTUN?

C.     

BAB II
PEMBAHASAN


A. Hukum Acara Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara

Dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No 51 Tahun 2009, menjelaskan bahwa dalam penyelesaian sengketa di PTUN terdapat dua cara yang dapat digunakan yaitu : 1.) upaya administrasi, dan 2.) gugatan.

1.       Upaya Administrasi

Yaitu prosedur yang ditempuh dlm penyelesaian sengketa TUN karena tidak puas dengan sebuah KTUN dalam lingkungan administrasi/pemerintah sendiri.(Pasal 48, 51 UU No 5/1986 Jo Pasal 75 UU No 30/2014, Perma No 6 tahun 2018). Upaya administrasi terdiri dari dua cara/proses:
a.  Keberatan
Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang dilakukan sendiri oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
b. Banding Administrasi
Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, yang berwenang memeriksa ulang Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan .

2.      Gugatan

Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi.
Subjek yang bersengketa dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Thn. 2004 dijelaskan bahwa yang menjadi Tergugat adalah Orang  dan Badan Hukum Perdata, yaitu setiap badan hukum yang bukan badan hukum publik, dapat berupa perusahaan-perusahaan swasta, organisasi atau yayasan yang dapat diwakili oleh pengurusnya sesuai dengan ketentuan dalam AD/ART-nya. TERGUGAT dijelaskan dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 51 Thn. 2OO9 yaitu            Badan / Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau Badan Hukum perdata.
Sedangkan yang menjadi objek sengketa, adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Perlu diketahui bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Berikut beberapa tahapan beracara dalam  penyelesaian sengketa melalui gugatan :

a.      Penelitian Administrasi ( Pasal 59 UU No. 5 tahun 1986)

Penelitian Administrasi merupakan tahap pertama untuk memeriksa gugatan yang sudah masuk dan terdaftar serta mendapat nomor register. Nomer register didapatkan setelah Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya dengan membayar uang panjar perkara. Penelitian Administrasi ini dilakukan oleh Kepaniteraan, Hal ini sesuai dengan aturan yang dikeluarkan dalam Surat Edaran No.2 tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5 Tahun1986 diatur mengenai Penelitian Administrasi yang berisi ; Petugas yang berwenang untuk melakukan penelitian administrasi adalah Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda Perkara sesuai pembagian tugas yang diberikan.

b.      Dismissal Proses (Pasal 62 UU No. 5 tahun 1986)

Proses dismissal merupakan proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Ketua Pengadilan. Proses penelitian dilakukan dalam rapat permusyawaratan untuk memutuskan Penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar karena tidak memenuhi syarat formil maupun syarat materil.
Dalam Prosedur Dismissal Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan disimisal apabila dipandang perlu.
Pasal 62:
(1) Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal : a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan; b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperringatkan; c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak; d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat; e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
(2) a. Penetapan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya; b. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan.
(3) a. Terhadap penetapan sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan; b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
(4) Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.
(5) Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan sebgaimana dimaksud dalmn ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
(6) Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.

c.       Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 UU No. 5 tahun 1986)

Tujuan dari adanya pemeriksaan persiapan adalah untuk untuk menyempurnakan gugatan perkara  yang diajukan. Oleh karenanya  Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
Pemeriksaan dalam ketentuan Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986 dijelaskan bahwa Majelis Hakim berwenang untuk : 
1)      Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
2)      Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim:
a.       wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;
b.      dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
3)      Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
4)      Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.
Pemeriksaan persiapan juga ditujukan untuk melengkapi bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan. Apabila gugatan dari Penggugat dinilai oleh Hakim sudah baik dan sesuai  maka tidak perlu dilakukan perbaikan gugatan. Dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak ada pemeriksaan persiapan, setelah ditunjuk Hakim tunggal, kemudian para pihak langsung dipanggil untuk melakukan persidangan.

d.      Pemeriksaan Persidangan

Ada dua pemeriksaan dalam persidangan yaitu pemeriksaan acara biasa dan pemeriksaan acara cepat yang jelaskan dalam pasal Pasal 68 hingga Pasal 99 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004. Pada pemeriksaan acara cepat tidak dilakukan pemeriksaan persiapan terlebih dahulu, hal ini yang membedakan dengan acara biasa. Selain itu Hakim yang memeriksa dan memutus pada pemeriksaan acara  biasa, dilakukan dengan tiga orang Hakim, sedangkan pada pemeriksaan acara cepat  dilakukan  dengan Hakim Tunggal.
Berikut adalah tahapan dalam pemeriksaan persidangan dalam PTUN:
1.      Pembacaan Gugatan (Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)
Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang, dan jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya. Kemudian Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang diajukan oleh mereka masing-masing.
2.      Pembacaan Jawaban (Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)
Jawaban yang diajukan oleh Tergugat dapat berupa alternatif, sebagai berikut:
·         Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan (Pasal 77 ayat (1). Eksepsi ini sebenarnya dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan dan meskipun tidak ada eksepsi tersebut, apabila hakim mengetahui karena jabatannya, wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan;
·         Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan (Pasal 77 ayat (2)). Eksepsi ini diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa;
·         Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan (Pasal 77 ayat (3)). Eksepsi ini hanya dapat diputus bersama-sama dengan pokok sengketa.

3.        Replik (Pasal 75 ayat 1 UU No.5/1986)
Replik adalah tanggapan yang diajukan penggugat terhadap jawaban yang telah diajukan oleh tergugat. Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat. Replik diserahkan oleh penggugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada tergugat.
4.        Duplik (Pasal 75 ayat 2 UU No.5/1986)
Duplik adalah tanggapan yang diajukan oleh tergugat terhadap replik yang telah diajukan oleh penggugat. Sebelum mengajukan duplik tergugat dapat  mengubah alasan yang mendasari jawabannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat. Duplik diserahkan oleh tergugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada penggugat.
5.        Tahap pengajuan Alat – Alat Bukti
Alat bukti dapat berupa:
a.         Surat atau tulisan ( Pasal 100 ayat (1) huruf a UU Nomor 5 Tahun 1986
Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis:
a. akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
b. akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
c. surat-surat lainnya yang bukan akta.
b.         Keterangan Ahli ( Pasal 102 dan 103 UU Nomor 5 Tahun 1986.
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Hakim Ketua Sidang juga dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli.  Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
c.         Keterangan Saksi ( Pasal 104 UU Nomor 5 Tahun 1986.
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri.
6.    Tahap pengajuan kesimpulan
Pada tahap pengajuan kesimpulan ini, pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara sudah selesai. Masing – masing pihak mengemukakan pendapat terkahir yang berupa kesimpulan dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan mengenai sengketa tata usaha negara antara penggugat dengan tergugat, yang intinya adalah sebagian berikut :
a.       Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh tergugat agar dinyatakan batal atau tidak sah.
b.      Tergugat mengajukan kesimpulan bahwa keputusan tata usaha negara yang telah di keluarkan adalah sah.

e.       Putusan

Setelah penggugat dan tergugat menyampaikan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda terlebih dahulu untuk memberikan kesempatan bermusyawarah kepada Majelis Hakim. Musyawarah majlis dilakukan di dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan pengambilan keputusan sengketa tersebut. Apabila musyawarah majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, maka permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya. Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, maka suara terakhir ditentukan oleh Hakim Ketua Majelis. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain. Putusan Pengadilan harus diberitahukan kepada kedua belah pihak. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, maka atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat kepada pihak yang bersangkutan (Pasal 108 UU No. 5 tahun 1986).
Pasal 109 menjelaskan bahwa dalam sebuah putusan harus memuat beberapa ketentuan antara lain:
1.      Kepala putusan yang berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"
2.      nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa
3.      ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas
4.      pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa
5.      alasan hukum yang menjadi dasar putusan
6.      amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara
7.      hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Apabila dalam putusan tidak memuat salah satu ketentuan diatas, maka dapat menyebabkan batalnya putusan di Pengadilan. Putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera yang turut bersidang selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah putusan Pengadilan diucapkan



BAB III
PENUTUP


Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dapat dilakukan dengan dua cara yaitu upaya administrasi dan gugatan. Penyelesaian dengan cara upaya administrasi bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu keberatan dan banding administrasi.
Penyelesaian dengan cara gugatan dilakukan dengan lakukan beberapa proses,  antara lain: penelitian administrasi, dismissal proses, pemeriksaan persiapan, pemeriksaan persidangan dan putusan.

DAFTAR PUSTAKA


Masyitoh Andriyani, Power Point Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Masyitoh Andriyani, Power Point Teknik dan Kemahiran Beracara Pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Wahyunadi Y. M., " Prosedur Beracara Di Tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara".
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEJARAH PEMBARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA

Nama                : Wahyu Erman Hambali NIM                 : 17103050051 Prodi/Kelas      : Hukum Keluarga Islam/C SEJARAH PEMB...