PROSES
PENYELESAIAN SENGKETA (HUKUM ACARA) DI PTUN
Dosen Pengampu:
Andriyani
Masithoh, SH., M.H
Disusun Oleh:
Wahyu Erman Hambali
Nim : 17103050051
HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2019
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
PTUN memiliki hukum acara sendiri
layaknya pidana dan perdata. Hukum acara PTUN adalah rangkaian peraturan
peraturan yang memuat cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama
lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum Tata Usaha Negara.
Tulisan ini dibuat untuk membahas
alur penyelesaian sengketa di PTUN,
dimulai dari pengajuan gugatan hingga berakhir pada putusan. Semoga Makalah ini
dapat bermanfaat baik itu untuk menulis sendiri maupun untuk orang lain.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana alur/tahapan
penyelesaian sengketa di PTUN?
C.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Acara Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Dalam UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9
Tahun 2004 jo UU No 51 Tahun 2009, menjelaskan bahwa dalam
penyelesaian sengketa di PTUN terdapat dua cara yang dapat
digunakan yaitu : 1.) upaya
administrasi, dan 2.)
gugatan.
1. Upaya Administrasi
Yaitu
prosedur yang ditempuh dlm penyelesaian sengketa TUN karena tidak puas dengan
sebuah KTUN dalam lingkungan administrasi/pemerintah sendiri.(Pasal 48, 51 UU
No 5/1986 Jo Pasal 75 UU No 30/2014, Perma No 6 tahun 2018). Upaya
administrasi terdiri dari dua cara/proses:
a. Keberatan
Penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara yang dilakukan sendiri oleh Badan/Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
b. Banding Administrasi
Penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi
lain dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata
Usaha Negara, yang berwenang memeriksa ulang Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan .
2. Gugatan
Seseorang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan
agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau
tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi.
Subjek yang bersengketa
dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Thn. 2004 dijelaskan bahwa yang menjadi
Tergugat adalah Orang dan Badan Hukum
Perdata, yaitu setiap badan hukum yang bukan badan hukum publik, dapat berupa
perusahaan-perusahaan swasta, organisasi atau yayasan yang dapat diwakili oleh
pengurusnya sesuai dengan ketentuan dalam AD/ART-nya. TERGUGAT dijelaskan dalam
Pasal 1 angka 12 UU No. 51 Thn. 2OO9 yaitu Badan
/ Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau Badan
Hukum perdata.
Sedangkan yang menjadi objek sengketa,
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
Perlu diketahui bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang
waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Berikut beberapa tahapan beracara dalam penyelesaian sengketa melalui gugatan :
a. Penelitian Administrasi ( Pasal 59 UU No. 5 tahun 1986)
Penelitian
Administrasi merupakan tahap pertama untuk memeriksa gugatan yang sudah masuk
dan terdaftar serta mendapat nomor register. Nomer register didapatkan setelah
Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya dengan membayar uang panjar
perkara. Penelitian Administrasi ini dilakukan oleh Kepaniteraan, Hal ini
sesuai dengan aturan yang dikeluarkan dalam Surat Edaran No.2 tahun 1991
tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5 Tahun1986 diatur
mengenai Penelitian Administrasi yang berisi ; Petugas yang berwenang untuk melakukan
penelitian administrasi adalah Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda Perkara
sesuai pembagian tugas yang diberikan.
b. Dismissal Proses (Pasal 62 UU No. 5 tahun 1986)
Proses
dismissal merupakan proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di Pengadilan
Tata Usaha Negara oleh Ketua Pengadilan. Proses penelitian dilakukan dalam
rapat permusyawaratan untuk memutuskan Penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak
diterima atau tidak berdasar karena tidak memenuhi syarat formil maupun syarat
materil.
Dalam
Prosedur Dismissal Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar
keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan disimisal apabila dipandang
perlu.
Pasal
62:
(1) Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan
dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa
gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam
hal : a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam
wewenang Pengadilan; b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan
diperringatkan; c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang
layak; d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi
oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat; e. gugatan diajukan
sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
(2) a.
Penetapan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat
permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua
belah pihak untuk mendengarkannya; b. Pemanggilan kedua belah pihak
dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua
Pengadilan.
(3) a.
Terhadap penetapan sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan perlawanan
kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan; b.
Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56.
(4) Perlawanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
dengan acara singkat.
(5) Dalam hal
perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan sebgaimana
dimaksud dalmn ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa,
diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
(6) Terhadap
putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.
c. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 UU No. 5 tahun 1986)
Tujuan dari adanya
pemeriksaan persiapan adalah untuk untuk
menyempurnakan gugatan
perkara yang diajukan. Oleh karenanya Hakim
wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang
jelas.
Pemeriksaan
dalam ketentuan Pasal 63 UU
No. 5 Tahun 1986 dijelaskan bahwa Majelis
Hakim berwenang untuk :
1)
Sebelum
pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan
persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
2)
Dalam
pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim:
a.
wajib
memberi nasihat kepada
penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang
diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;
b.
dapat
meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan.
3)
Apabila
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a penggugat belum
menyempurnakan gugatan, maka Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan
tidak dapat diterima.
4)
Terhadap
putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum,
tetapi dapat diajukan gugatan baru.
Pemeriksaan
persiapan juga ditujukan untuk melengkapi
bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan. Apabila
gugatan dari Penggugat dinilai oleh Hakim sudah baik
dan sesuai maka tidak perlu dilakukan
perbaikan gugatan. Dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak ada
pemeriksaan persiapan, setelah
ditunjuk Hakim tunggal, kemudian para pihak
langsung dipanggil untuk melakukan
persidangan.
d. Pemeriksaan Persidangan
Ada dua pemeriksaan dalam persidangan
yaitu pemeriksaan acara biasa dan pemeriksaan acara cepat yang
jelaskan dalam pasal Pasal 68
hingga Pasal 99
UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.
Pada pemeriksaan acara cepat tidak dilakukan pemeriksaan persiapan terlebih
dahulu, hal ini yang membedakan dengan acara biasa. Selain itu Hakim yang memeriksa
dan memutus pada pemeriksaan acara biasa, dilakukan
dengan tiga orang Hakim, sedangkan
pada pemeriksaan acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal.
Berikut adalah tahapan dalam pemeriksaan persidangan dalam PTUN:
1. Pembacaan Gugatan (Pasal 74
ayat 1 UU No.5/1986)
Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi
gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang, dan jika
tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan
jawabannya. Kemudian Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua
belah pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang diajukan oleh mereka
masing-masing.
2.
Pembacaan Jawaban
(Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)
Jawaban yang diajukan oleh Tergugat dapat berupa alternatif,
sebagai berikut:
·
Eksepsi
tentang kewenangan absolut pengadilan (Pasal 77 ayat (1). Eksepsi ini
sebenarnya dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan dan meskipun tidak
ada eksepsi tersebut, apabila hakim mengetahui karena jabatannya, wajib
menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang
bersangkutan;
·
Eksepsi
tentang kewenangan relatif pengadilan (Pasal 77 ayat (2)). Eksepsi ini diajukan
sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi tersebut harus
diputus sebelum pokok sengketa diperiksa;
·
Eksepsi lain yang
tidak mengenai kewenangan pengadilan (Pasal 77 ayat (3)). Eksepsi ini hanya
dapat diputus bersama-sama dengan pokok sengketa.
3.
Replik (Pasal 75 ayat 1 UU No.5/1986)
Replik adalah tanggapan yang
diajukan penggugat terhadap jawaban yang telah diajukan oleh tergugat. Penggugat
dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya, asal disertai alasan yang
cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat. Replik diserahkan oleh
penggugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang
diserahkan kepada tergugat.
4.
Duplik (Pasal
75 ayat 2 UU No.5/1986)
Duplik adalah tanggapan yang diajukan
oleh tergugat terhadap replik yang telah diajukan oleh penggugat. Sebelum mengajukan
duplik tergugat dapat mengubah alasan
yang mendasari jawabannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak
merugikan kepentingan penggugat. Duplik diserahkan oleh tergugat kepada
Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada
penggugat.
5.
Tahap
pengajuan Alat – Alat Bukti
Alat bukti
dapat berupa:
a.
Surat
atau tulisan ( Pasal 100 ayat (1) huruf a UU Nomor 5 Tahun
1986
Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis:
a. akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan
seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang
membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
b. akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani
oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai
alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
c. surat-surat lainnya yang bukan akta.
b.
Keterangan Ahli ( Pasal 102 dan 103 UU Nomor 5 Tahun 1986.
Keterangan ahli adalah
pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal
yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Hakim Ketua Sidang juga dapat
menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli. Seorang ahli
dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan
lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang
pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
c.
Keterangan Saksi ( Pasal 104 UU Nomor 5 Tahun 1986.
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu
berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri.
6. Tahap pengajuan kesimpulan
Pada
tahap pengajuan kesimpulan ini, pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha
Negara sudah selesai. Masing – masing pihak mengemukakan pendapat terkahir yang
berupa kesimpulan dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan mengenai sengketa
tata usaha negara antara penggugat dengan tergugat, yang intinya adalah
sebagian berikut :
a. Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa
keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh tergugat agar dinyatakan
batal atau tidak sah.
b. Tergugat mengajukan kesimpulan
bahwa keputusan tata usaha negara yang telah di keluarkan adalah sah.
e. Putusan
Setelah penggugat dan tergugat menyampaikan
kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda terlebih
dahulu untuk memberikan kesempatan bermusyawarah kepada Majelis Hakim.
Musyawarah majlis dilakukan di dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan pengambilan
keputusan sengketa tersebut. Apabila musyawarah majelis tersebut tidak dapat
menghasilkan putusan, maka permusyawaratan ditunda sampai
musyawarah majelis berikutnya. Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya
tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, maka suara terakhir ditentukan oleh
Hakim Ketua Majelis. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum dan dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada
hari lain. Putusan Pengadilan harus diberitahukan kepada kedua belah pihak. Apabila
salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan
pengadilan diucapkan, maka atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu
disampaikan dengan surat kepada pihak yang bersangkutan (Pasal 108 UU No. 5
tahun 1986).
Pasal 109 menjelaskan bahwa dalam
sebuah putusan harus memuat beberapa ketentuan antara lain:
1. Kepala putusan yang berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA"
2. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para
pihak yang bersengketa
3. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas
4. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi
dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa
5. alasan hukum yang menjadi dasar putusan
6. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara
7. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta
keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Apabila dalam putusan tidak memuat salah satu ketentuan diatas, maka dapat menyebabkan batalnya putusan di Pengadilan. Putusan itu harus
ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera yang turut bersidang selambat-lambatnya
tiga puluh hari sesudah putusan Pengadilan diucapkan
BAB III
PENUTUP
Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu upaya administrasi dan gugatan. Penyelesaian dengan cara upaya administrasi
bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu keberatan dan banding administrasi.
Penyelesaian dengan cara gugatan dilakukan dengan lakukan beberapa
proses, antara lain: penelitian
administrasi, dismissal proses, pemeriksaan persiapan, pemeriksaan
persidangan dan putusan.
DAFTAR PUSTAKA
Masyitoh Andriyani, Power Point Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Masyitoh
Andriyani, Power Point Teknik dan Kemahiran Beracara Pada Peradilan Tata
Usaha Negara.
Wahyunadi Y. M., " Prosedur
Beracara Di Tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara".
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar