Sabtu, 21 Desember 2019

RESENSI BUKU JEJAK LANGKAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA KARYA JAENAL ARIPIN


RESENSI BUKU
JEJAK LANGKAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Resensi ini disusun guna memenuhi tugas pengganti UAS mata kuliah Sejarah Peradilan Hukum Acara Islam
Dosen Pengampu:
Dr. Malik Ibrahim, M.Ag.
Nip. 19660801 199303 1 002

Disusun Oleh:
Wahyu Erman Hambali
17103050051


HUKUM KELUARGA ISLAM (A)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAMNEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2019




DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.....................................................................................................       i
IDENTITAS BUKU.........................................................................................      1
SISTEMATIKA BUKU...................................................................................      3
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN...........................................................      3
KRITIK DAN SARAN....................................................................................      3
PERBANDINGAN BUKU..............................................................................    11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................    13
CURICULUM  VITAE....................................................................................    13




A.    IDENTITAS BUKU

Judul                    : Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia
Penulis                 : Dr. H. Jaenal Aripin, M.Ag
Jumlah Halaman  : xii, 364 hal
ISBN                    : 978-602-7985-00-1 347-010 959 8
Cetakan                : Ke-1, Mei 2013
Percetakan            : PT Kharisma Putra Utama
Penerbit                : Kencana Prenada Media Group

B.     SISTEMATIKA ISI BUKU
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I “DARI SERAMBI MASJID KE SERAM DI DUNIA: JEJAK LANGKAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA”
A.    Berawal Dari Serambi Masjid
            Keberadaan lembaga peradilan dalam Islam merupakan conditio sine quanon, yaitu sesuatu yang mutlak adanya. Sehingga di mana pun Islam berada maka disitu  terdapat lembaga peradilan  yang berfungsi sebagai lembaga yang menyelesaikan persengketaan antara pemeluk Islam.
            Pada masa  kerajaan Islam, sudah ada lembaga yang mengatur Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa terkait agama Islam. Pada masa itu Peradilan Agama masih berbentuk sangat sederhana. Hal ini ditandai dengan tempat dan digunakan untuk proses peradilan, yaitu dilakukan di serambi-serambi masjid. Oleh karena itu peradilan pada masa kerajaan Islam sering disebut sebagai “peradilan serambi”.             
B.     Beranjak Dari Serambi Masjid
            Pada masa awal kemerdekaan, Peradilan Agama yang sebelumnya dikatakan sebagai peradilan serambi, mulai akan beranjak dari serambi masjid yang melambangkan kesederhanaan administrasi dalam proses penyelenggaraan persidangan, menuju kepada tatanan kelembagaan yang lebih representatife meskipun belum memadai.
Upaya pembenahan tempat untuk penyelenggaraan Peradilan Agama mulai muncul sejak disahkannya UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.   Dengan lahirnya undang-undang tersebut, eksistensi Peradilan Agama semakin kuat, juka undang-undang tersebut yang mengilhami lahirnya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
C.     Meniti Menuju Serambi Dunia
            Peradilan Agama memiliki momen penting untuk beranjak ke serambi dunia pada tanggal 30 Juni 2004. Langkah ini terlihat jelas ketika Menteri Agama secara resmi menyerahkan urusan organisasi, administrasi, dan finansial lingkungan Peradilan Agama kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
            Peradilan Agama akhirnya menjadi peradilan satu atap di mana posisi Peradilan Agama ketika berada di bawah Departemen Agama hanya berada pada tingkat eselon II, kemudian ketika berada satu atap statusnya meningkat menjadi Eselon I.
            Momentum lain yang dapat dirasakan berkaitan dengan Peradilan Agama adalah ketika lahir dan disahkannya UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lahirnya undang-undang ini memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi perkembangan Peradilan Agama pada masa berikutnya.
            Kewenangan Peradilan Agama juga sudah tidak lagi terbatas mengenai perkara yang terkait dengan hukum keluarga. Kewenangan yang meliputi perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf, sedekah, zakat, infaq, dan ekonomi syariah. Dengan demikian kewenangan baru tersebut, maka Peradilan Agama sudah beranjak menjadi pengadilan yang menangani sengketa akibat adanya transaksi dalam bidang ekonomi dan bisnis.
D.    Berdiri Kukuh Di Serambi Dunia: Menjadi Peradilan Modern Antara Cita dan Fakta.
            Harapan dan cita-cita seluruh elemen penyelenggara dan pemangku kebijakan di lingkungan Peradilan Agama untuk menjadi pengadilan modern yang terbuka dan mampu berkiprah di seram di dunia, bukanlah sebuah utopis. Beberapa program-program develop untuk meningkatkan citra dan image kelembagaan Peradilan Agama, yang sudah banyak dilakukan,  ternyata hasilnya melebihi ekspektasi masyarakat terhadap pelajaran agama.
            Recognize yang diberikan oleh masyarakat Indonesia dan dunia, baik secara individu yang berperkara di pengadilan agama, maupun kelembagaan yang menjadi mitra langsung maupun yang tidak terkait secara langsung sudah banyak diberikan. Hal ini terlihat misalnya, hasil survei yang dilakukan oleh the Asia foundation tahun 2005 tentang kredibilitas dan akuntabilitas lembaga hukum di Indonesia, ternyata pelajaran agama menjadi satu-satunya institusi penegak hukum yang memiliki performance yang paling baik. Oleh sebab itu Ditjen Badilag banyak menerima tawaran kerjasama, tidak hanya dari lembaga-lembaga yang ada di Indonesia akan tetapi juga dari lembaga luar negeri.
            Atas dasar pencapaian yang dilakukan oleh Ditjen Badilag, khususnya dalam memanfaatkan teknologi informasi tersebut, secara khusus Cate Summer dan Tim Lindsey dalam Laporan Couting Reform Indonesia's Islamic Court And Justice For The Poor, menyatakan bahwa Pengadilan Agama berhasil menjadi contoh pengadilan yang sukses mereformasi diri, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara.
BAB 2“BERAWAL DARI PERADILAN SERAMBI: POSISI PERADILAN AGAMA SEBELUM KEMERDEKAAN”
A.    Peradilan Serambi dan Ragam Bentuk Peradilan
            Peradilan Perdata dan Peradilan Padu merupakan peradilan yang telah ada sebelum Islam datang ke Indonesia.[1] Eksistensi, posisi, dan kewenangan kedua jenis peradilan tersebut bertahan cukup lama dan sangat otoritatif di dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul di masyarakat, bahkan cenderung mengalami perkembangan yang cepat seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat saat itu.
            Ketika Islam datang, maka mulailah mencoba mencari cara yang tepat dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara pemeluk Islam. Oleh karena itu mulai dikenalkan lembaga yang dijadikan sebagai tempat untuk menyelesaikan persengketaan antar umat Islam yang dikenal atau disebut “Qadha”.[2]
            Momentum awal masuknya nilai-nilai Islam ke dalam sistem Peradilan Agama pada masa kerajaan Mataram diperoleh ketika kerajaannya berubah menjadi kerajaan Islam. Penamaan peradilan pada masa kerajaan Mataram disebut dengan Peradilan Serambi, karena sidangnya dilaksanakan di serambi Masjid Agung, juga sebagai penanda bahwa peradilan tersebut mengadopsi nilai-nilai Islam dalam proses peradilannya.[3]
            Berbeda dengan kondisi kerajaan Mataram, Yogyakarta dan Surakarta masih tetap mempertahankan pranata hukum sosial Islam dalam masyarakat. Di Kesultanan Banten, peradilannya juga sudah disusun berdasarkan ajaran Islam. Begitu pula halnya di daerah kesultanan Cirebon, sistem peradilan yang dilaksanakan sudah benar-benar sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan dalam pertahanan prakteknya pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga sultan, yaitu Sultan sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon. Begitu pula halnya dengan realitas yang ada di Aceh, tidak hanya eksistensi Peradilan Agama yang kuat, akan tetapi pelaksanaan hukum Islam secara keseluruhan sudah berjalan dengan baik.[4]
B.      Surat Raja Tahun 1882: Antara Serambi Masjid dan Serambi Indonesia
            Berawal dari surat Raja Willen tahun 1882, Peradilan Agama tidak saja diakui  eksistensinya, namun kedudukannya secara konstitusional sudah kuat sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman bersama dengan badan badan peradilan lainnya yang ada pada masa itu.
            Sebenarnya, Staatsblad No. 152 tahun 1882, sesungguhnya tidak hanya mengakui eksistensi Peradilan Agama, tapi juga mengatur perubahan terhadap susunan badan Peradilan Agama. Akan tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah, bahwa pemerintah Hindia Belanda secara konstitusional telah mengakui keberadaan Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia bersama badan peradilan lainnya.
C.     Peradilan Agama dan Dinamika Kompetensinya Pasca Tahun 1882.
            Meskipun telah lahir Staatsblad 1882 No. 152 yang memperkuat Peradilan Agama, namun di dalamnya belum dirumuskan secara jelas tentang kewenangan pengadilan agama dan tidak pula dibuat garis pemisah yang tegas antara kewenangan pengadilan agama dan pengadilan negeri.[5] Maka dari itu pengadilan Agama menetapkan sendiri perkara-perkara yang dipandang masuk dalam lingkungan kekuasaannya.
            Setelah Belanda mengakui Peradilan Agama, bukan berarti Belanda mendukung sepenuhnya terhadap Peradilan Agama itu sendiri. Belanda menganggap bahwa Peradilan Agama sebagai penghalang kepentingan pemerintahannya, dan karena itu Belanda terus berupaya untuk mengeliminasi hukum Islam. Langkah yang dilakukan kolonial untuk mengeliminasi  hukum Islam, menurut Arifin adalah dengan jalan rekayasa ilmiah hukum yang meliputi tiga hal;[6] 1) unifikasi, 2) penemuan hukum adat, dan  3)  citra palsu bagi pelajaran agama. Kemudian setelah itu lahirlah staatsblad 1937 nomor 116 dengan cara menambah pasal 2 ayat 1 yang membuat kompetensi Peradilan Agama menjadi lebih sempit.
            Pasang surut yang terkait dengan kompetensi pengadilan agama tersebut, sebenarnya tidak lepas dari upaya pemerintah Hindia Belanda untuk melemahkan pengaruh hukum Islam di Indonesia. Karena itu upaya memperlemah hukum Islam tersebut dilakukan dengan mengangkat dan menjadikan hukum adat sebagai perisai, terutama yang terkait dengan masalah sengketa harta benda, yaitu kewarisan dan perwakafan.
D.    Peradilan Vis A Vis Politik Hukum Kolonial 1882-1945.
            Teori dan upaya yang dilakukan oleh Van Den Berg yang mendukung hukum Islam di Indonesia, ternyata dianggap sangat membahayakan bagi kelangsungan proses kolonialisasi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kemudian munculah teori receptie yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Teori ini mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah di resepsi oleh hukum adat.[7]
            Akibat kuatnya pengaruh teori receptie tersebut, pemerintah Hindia Belanda kemudian melancarkan kebijakan politik hukum yang baru yang terkait dengan pelaksanaan dan penerapan hukum Islam, terutama terkait dengan kewenangan Peradilan Agama. Namun bila diperhatikan penerapan ide-ide yang dikemukakan oleh Snouck sangat ampuh dalam menciptakan dan mengumpulkan politik devide et imperedi Indonesia. Salah satu contohnya adalah didirikannya Mahkamah Islam Tinggi sebagai pengadilan banding bagi seluruh pengadilan agama di Jawa dan Madura.
            Pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942, Jepang menerapkan dua kebijakan. Kebijakan pertama yang dilakukan Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan.  kebijakan kedua yaitu pada tanggal 29 April 1942 menetapkan UU No. 14 tahun 1942 yang menjelaskan bahwa susunan peradilan sipil di Jawa dan Madura masih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya, hanya saja nama-namanya disesuaikan dengan nama dan sebutan dalam bahasa Jepang, untuk nama kedudukan para pejabat dan nama kantor, sementara fungsi dan wewenangnya sama dengan masa kolonial Belanda.[8]

BAB 3 “MELANGKAH MENUJU SERAMBI DUNIA: PERJALANAN PERADILAN AGAMA SEBELUM SATU ATAP”
A.    Berada Di Serambi Indonesia: Pergulatan Status Dan Kedudukan,
             Pada kurun waktu 1996-1948 terdapat beberapa aturan, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah yang menyangkut Peradilanagama. Pertama,  keluarnya UU No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Kedua, keluarnya penetapan Menteri Agama No. 6 tahun 1947 tentang Penetapan Formasi Pengadilan Agama terpisah dari penghulu kabupaten. Ketiga, keluarnya UU No. 19 Tahun 1948 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung RI. Keempat, keputusan Recomba Jawa Barat No. Rec Wj. 229/72 tanggal 2 April 1958 dan peraturan yang tercantum dalam JavaascheCourant 1946 No 32 dan 39 tahun 1948 dan UU No. 25 tahun 1999 dan 65 menentukan bahwa, di daerah-daerah yang dikuasai tentara sekutu dan Belanda, instansi yang dinamakan Priesterraad diubah menjadi Penghoeloe Gerecht.
B.     Antara  Serambi Masjid Dan Serambi Indonesia: Konflik Kewenangan Peradilan Agama
            Kewenangan Peradilan Agama dalam perjalanannya terus mengalami dinamika. Munculnya dinamika yang menyangkut tentang Peradilan Agama, khususnya terkait dengan kewenangan, tidak terlepas dari politik hukum yang diterapkan sejak masa penjajahan sampai masa kemerdekaan dan berlanjut pada ujung masa Orde Baru.  
C.     Dari Kitab Kuning Ke Kitab Putih: Positivisasi Hukum Materiel Peradilan Agama
            Hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi dua.[9] hukum Islam berlaku secara normatif, dan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal. Baik hukum yang berlaku secara normatif maupun formal, keduanya telah menjadi hukum yang hidup atau (living Law) dalam masyarakat.
            Dengan dibentuknya Kompilasi Hukum Islam dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang dijadikan sebagai pegangan oleh hakim dalam memutuskan perkara di Peradilan Agama, menunjukkan adanya keberanjakan hukum materiil dari sekadar kitab kuning ke dalam kodifikasi kitab putih sebagai bentuk pengakuan akan eksistensi hukum Islam di Indonesia.
D.     Antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung: Posisi Peradilan Agama dalam Dua Kekuasaan.
Pada masa orde baru, kekuasaan dari lembaga peradilan (yudikatif) mengalami perkembangan yang signifikan. Mengingat dengan diundangkannya UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, bukan saja dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari campur tangan kekuasaan lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Di samping itu, hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal kekuasaan kehakiman dan hubungannya dengan Mahkamah Agung serta departemen, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi, seperti yang diungkapkan oleh R. Subekti bahwa kebebasan Hakim yang menjadi sendiri peradilan yang baik tidak saja dalam hal larangan untuk mempengaruhi kekuasaan lembaga peradilan oleh kekuasaan lain di luar kekuasaan lembaga peradilan, tapi Mahkamah Agung juga dilarang campur tangan terhadap atau mempengaruhi suatu peradilan dibawahnya yang sedang memeriksa dan memutus suatu perkara.[10]
BAB 4 “DIANTARA DUA SERAMBI: INDONESIA DAN DUNIA: KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA PASCA SATU ATAP”
A.     Menuju Serambi Dunia: Berawal Dari Penyatuatapan
Lembaga-lembaga peradilan yang awalnya berada di bawah kekuasaan eksekutif ke Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif, merupakan perintah konstitusional yang mutlak yang harus dilakukan. Proses penyatuan satu atap ini bagi Peradilan Agama merupakan momentum yang penting dalam mengawali kiprahnya, bukan hanya di serambi Indonesia, tetapi juga di serambi dunia.
Penerapan peradilan Satu Atap di Indonesia, dimaksudkan untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek formasi (variabel Independent). Tujuan lain dilakukannya penyatuatapan badan peradilan yaitu untuk menciptakan independensi lembaga peradilan. Setelah  proses penyatuatapan badan peradilan berjalan hampir delapan tahun, maka sudah tidak ada lagi lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, semuanya sudah berada di bawah Mahkamah Agung, termasuk Peradilan Agama.
B.     Berciri Mandiri Bercitra Modern: Status dan Kedudukan Peradilan Agama
Dinamika yang dialami Peradilan Agama cukup pelik serta  terdapat pasang surut dari masa penjajahan sampai awal kemerdekaan, baik menyangkut status dan kedudukan, maupun kewenangannya. Pada masa orde lama, badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman belum mengarah pada bentuk yang ideal yakni Mandiri dan independen. Karena itu, untuk memperbaiki kekurangan pelajaran agama dan menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, Presiden RI menyampaikan RUU Peradilan Agama (RUUPA) kepada DPR. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya RUU tersebut dapat disahkan menjadi UU,  undang-undang inilah yang kemudian dikenal dengan undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pada era reformasi, eksistensi Peradilan Agama mencapai puncak kekukuhanya pada tahun 2001, saat kesepakatannya Perubahan ketiga UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam pasal 24 UUD 1945 hasil amandemen, secara eksplisit dinyatakan bahwa lingkungan Peradilan Agama Sebutkan sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indone      sia, bersama lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung.
Dengan demikian, setelah satu atap, hal-hal yang menyangkut dengan struktur dan pendudukan Peradilan Agama telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perkembangan menyangkut perubahan badan agama pasca Satu Atap tersebut, telah menunjukkan bahwa harapan besar akan terwujudnya kemandirian dan independensi lembaga peradilan sebagai wujud demokrasi dan cerminan negara hukum (rechtsstaat).
C.     Diantara Dua Serambi: Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
Mahkamah Syar'iyah adalah peradilan syariat Islam dan merupakan bagian dari sistem peradilan nasional yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Mahkamah Syar'iyah adalah lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang Peradilan syariat Islam melaksanakan syariat Islam dalam wilayah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan pengembangan dari pengadilan agama yang telah ada.[11]
Dasar hukum pemberlakuan Mahkamah Syar'iyah yaitu pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Darurat Nomor 11 tahun 1951, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di Provinsi Aceh, yang selanjutnya dengan PP No. 45 tahun 1957, PengadilanAgama atau Mahkamah syar'iyah dibentuk di Aceh, dibentuk juga untuk daerah-daerah lainnya di luar Jawa-Madura.[12]
Adapun kedudukan Mahkamah Syariah, berdasarkan pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2003 dan pasal 130 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, terdiri atas maka masyarakatnya kabupaten/kota, sebagai peradilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar'iyah Tinggi (Peradilan tingkat banding) yang berada di ibukota provinsi. Putusan Mahkamah Syariah Aceh juga dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Mengenai kewenangan Mahkamah Syar'iyah, UU No. 18 tahun 2001 menyerahkan urusan tersebut pada  Qanun Nanggroe Aceh Darussalam.  Setelah disahkannya Qanun provinsi NAD No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, dalam pasal 49 disebutkan bahwa kewenangan Mahkamah Syar'iyah meliputi perkara-perkara di bidang perdata yang meliputi hukum kekeluargaan, hukum perikatan, dan hukum harta benda serta perkara-perkara di bidang pidana, meliputi qisas-diat, hudud dan takzir sebagai kewenangan Mahkamah Syariah.
D.    Beranjak Menjadi Peradilan Modern: Kewenangan Baru dan Positivisasi Hukum Materiel
Berdasarkan UU No. 7 tahun 1889, Peradilan agama hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi dengan diberlakukannya UU No. 3 tahun 2006, memberikan paradigma baru terhadap Peradilan Agama.
Oleh karena peraturan tersebut, maka pasal 9 dalam UU No. 7 tahun 1889 diubah oleh UU No 3 tahun 2006, sehingga bunyinya menjadi: " Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b )waris; (c) wasiat, (d) hibah, (e) wakaf, (f) zakat, (g) infaq, (h) sedekah, dan (i) ekonomi syariah”.
E.     Menjadi Hakim Modern dan Profesional Peran Hakim Sebagai Penemu Hukum
Dalam perspektif sistem peradilan, hakim memegang peranan yang sangat penting. Hakim tidak hanya sebagai penegak hukum dan keadilan, tetapi juga sebagai pejabat negara yang mempunyai tugas mulia dalam rangka mewujudkan negara hukum dan selalu berupaya memberikan kepastian hukum, dan pemanfaatan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret.[13] Mengingat dalam praktek sering terjadi adanya suatu peristiwa  atau perbuatan hukum yang tidak dijumpai ketentuan hukumnya dalam undang-undang maupun yurisprudensi karena perkembangan kehidupan masyarakat yang selalu lebih cepat daripada perkembangan hukum itu sendiri.

BAB 5 “BERADA DI SERAMBI DUNIA: PERADILAN AGAMA ANTARA PRESTASI DAN PREDIKSI”
A.     Menetap Serambi Dunia: Keberanjakan dan Perubahan
Dalam rangka menatap serambi dunia, keberanjakan dan perubahan yang dilakukan di lingkungan Peradilan Agama khususnya menyangkut tentang kapasitas kelembagaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan struktur organisasi, peningkatan sumber daya, melengkapi sarana dan prasarana dan peningkatan anggaran. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk menciptakan dan membangun tim kerja yang solid agar rencana strategis dalam program pengembangan Peradilan Agama bisa dilaksanakan sesuai dengan target capaian yang telah ditetapkan. Selain itu juga, untuk meningkatkan performa dan citra diri Peradilan Agama agar kinerjanya sebagai institusi hukum menjadi lebih baik.
B.     Menapak Serambi Dunia: Program Unggulan dan Prioritas
Untuk memantapkan langkah Peradilan Agama agar dapat menampak di serambi dunia, Ditjen Badilag menyusun dan mengembangkan beberapa program unggulan dan prioritas dalam rangka memperkuat kapasitas kelembagaan Peradilan Agama. Adapun beberapa program unggulan dan prioritas Ditjen Badilag sebagai berikut: a) informasi teknologi, b) pengembangan bahasa inggris, dan c) pengembangan bahasa arab.
Selain mempunyai program yang telah disebutkan di atas, Ditjen Badilag juga mempunyai program-program unggulan yang disediakan bagi masyarakat pencari keadilan, program-program tersebut antara lain: a) sidang keliling, b) pos bantuan hukum (posbakum), c) prodeo, dan d) pembentukan one stop service.
C.     Positioning Di Serambi Dunia: Prestasi dan Apresiai
Prestasi dan apresiasi yang diraih oleh Peradilan Agama sudah sangat banyak didapatkan baik dalam negeri maupun luar negeri, baik dari perorangan maupun institusi. Misalnya saja Cate Summer dan Tim Lindsey, dalam laporan berjudul “Courting Reform Indonesia's Islamic Courts And Justice For The Poor”, menyatakan bahwa Pengadilan Agama berhasil menjadi contoh pengadilan yang sukses mereformasi diri bahkan hingga lingkup Asia Tenggara. Peradilan agama juga mendapat apresiasi dari para konsultan di bidang "Capacity Building Impact Studies" AusAID. Demikian pula penghargaan dan apresiasi hal-hal lainnya seperti client service, manajemen komunikasi, manajemen perubahan, justice for the poor, dan sistem transparansi yang sudah banyak diterapkan dan dilakukan peningkatannya di lingkungan Peradilan Agama.
D.    Bergaul Di Serambi Dunia: Kerja Sama dengan Dunia Barat, Timur, dan Asia
Dalam rangka meningkatkan pergaulan di serambi dunia, maka pada bulan Juli 2008, melakukan penandatanganan MoU antara Mahkamah Agung RI, The Federal Court Of Indonesia, dan The Family Court Of  Australia di Melbourne, Australia.[14] Tujuan dari penandatanganan ini adalah untuk melaksanakan program-program kerja sama teknis yudisial dalam pengembangan peradilan dan pemahaman tentang isu-isu hukum kontemporer lain yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Sejak Peradilan Agama menjalin kerjasama dengan negara barat, maka Peradilan Agama semakin dikenal di dunia luar. Oleh karenanya, pada bulan September 2006, delegasi Mahkamah Agung RI pergi ke Amerika Serikat untuk mengikuti seminar dan Short Course yang diselenggarakan di kampus Southwestern Law School Los Angeles. Seminar ini membahas tentang perkembangan hukum di Aceh, dan masih banyak sekali kegiatan kerjasama perdilan agama dengan negara luar yang tentunya sangat membanggakan bagi perkembangan Peradilan Agama.
E.     Berdiri Kukuh Di Serambi Dunia: Prediksi dan Harapan
Segala bentuk upaya/usaha dan  hasil nyata yang sudah dilalui dan diberikan oleh Peradilan Agama memberikan pandangan bahwa Peradilan Agama diprediksikan akan mengarah dan menjadi peradilan yang modern yang pasti akan terwujud. Hal ini sudah mulai terlihat dengan eksistensi Peradilan Agama Indonesia yang sudah semakin kuat dan juga sudah berdiri kokoh di serambi dunia, dan sudah tidak lagi terombang ambing, baik status, kedudukan, maupun kewenangannya.

C.    URGENSITAS BUKU
Buku Peradilan Agama mempunyai urgensitas yang sangat berguna bagi dokumentasi historitas perjalanan dan perkembangan Peradilan Agama. Buku ini awalnya ditulis dalam rangka ulang tahun yang ke-130 tahun kelahiran Peradilan Agama yang dirayakan pada bulan Oktober 2012.
Indonesia adalah negara hukum yang sebagian lebih warganya beragama Islam, oleh sebab itu Informasi dan pengetahuan terkait lembaga hukum yang ada di Indonesia sangat dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia.
Banyak sekali tulisan dalam bentuk artikel maupun jurnal yang terkait dengan peradilan, menggunakan buku ini sebagai rujukan utama sebagai bahan tulisan mereka.Hal ini dikarenakan karena dalam buku ini menjelaskan perjalanan Peradilan Agamadari masa ke masa. Dimulai dari masa sebelum Islam datang,  masa kerajaan Islam, masa penjajahan, masa orde lama dan orde baru, hingga yang sekarang ini.
Tidak sedikit pula perkuliahan yang menjadikan buku ini sebagai materi dalam proses pembelajaran. Pembahasanmateri tentang hukum tidak akan terlepas dari lembaga penegak hukum layaknya Peradilan Agama.

D.    KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU
Kelebihan buku Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia dari aspek tampilan dan judul sudah cukup untuk menarik perhatian pembaca. Dalam covernya terdapat gambar tentang persidangan dan majelis sidang, hal ini menunjukkan bahwa buku ini memang dibuat untuk membahas tentang hukum peradilan di Indonesia.Sedangkan kekurangannya terdapat pada kualitas kertas yang digunakan untuk sampulnya, sehingga mengakibatkan mudahnya kerusakan yang terjadi pada sampul buku tersebut.
Dari aspek tata letak penulisannya sudah cukup memenuhi standar penulisan, hanya saja penomoran halaman pada awal bab tidak dicantumkan, sehingga membuat pembaca harus membuka lembar sebelum atau sesudahnya untuk mengetahui halaman berapa yang ada pada awal bab tersebut. Penyertaan gambar pada buku ini sangat membantu sekali bagi pembaca untuk lebih memahami isi buku.
Kelebihan dari aspek pembahasan sudah sangat bagus yang menjelaskan runtutan perjalanan Peradilan Agama, juga adanyaprestasi dan keluasan jaringan pada sistem hukum di Indonesia menjadikan isi buku ini menjadi lengkap.Bahasa yang digunakan cukup mudah dimengerti bagi pembaca untuk dapat memahami isi buku yang disajikan. Penggunaan istilah-istilah asing juga tidak terlalu banyak digunakan, hal ini merupakan sisi positif karena mengurangi atau mencegah terjadinya ketidakpahaman pembaca disebabkan karena banyaknya penggunaan istilah asing tanpa adanya penjelasan.
E.     KRITIK DAN SARAN
Segala kekurangan yang terkait buku ini baik dari sampul, isi, hingga daftar pustaka, harap menjadi pembenahan agar buku ini menjadi lebih baik lagi. Buku ini masih juga kurang banyak materinya tentang Lembaga Peradilan Agama.
Saran penulis terhadap buku ini adalah agar buku ini diperbaiki mengenai hal-hal yang membuat buku ini menjadi kurang kualitansnya. Pembahasan mengenai Lembaga Peradilan Agama jika bisa diperdalam lagi, agar dapat menambah kualitas buku, sehingga ilmu yang didapatkan pembaca tidak setengah-setengah.

F.     PERBANDINGAN BUKU PRIMER DENGAN BUKU SEKUNDER
No.
Judul Buku
Penulis
Penerbit
Kota dan Tahun Terbit
Cet/ Jumlah Halaman
1.
Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam Di Negara-Negara Muslim

Djazimah Muqoddas
LKiS Yogyakarta
Yogyakarta, 2011
xxx + 298 Halaman,
Cetakan : I (Satu
2.
Peradilan Agama dalam Politik Hukum Indonsia

Abdul Halim
PT Raja Grafindo Persada
Jakarta, 2002
Cet. II, xxii, 268 hlm.; 21 cm
3.
Hukum Acara Peradilan Agama

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Pustaka Pelajar
Yogyakarta, 2007
646 hlm ; 21 cm.
Cetakan ke-1, Januari  2006      Cetakan ke-2, Agustus 2007


Aspek
Buku Primer
Buku Skunder I
Buku Skunder II
Buku Skunder III
Latar Belakang Penulisan
Buku ini ditulis dalam rangka ulang tahun yang ke-130 tahun kelahiran Peradilan Agama
Desertasi penulis yang dipertahankan di sidang tebuka Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Alasan kepenulisannya adalah masih banyak terjadinya bias gender terhadap perempuan dalam dunia Islam
Salah satu usaha untuk memotret konfigurasi politik dan karakter hukum di masa rezim Soeharto, dan sebagai evaluasi terhadap kebijakan politik di Indonesia.
Sebagai bahan kajian dalam rangka memantapkan sistem hukum nasional.
Kedalaman/ keluasan isi Materi
Menjelaskan historitas dan perkembangan Peradilan Agama dari serambi masjid menuju serambi dunia
Pembahasan dalam buku ini lebih menekankan pada apakah perempuan di dalam lingkup peradilan agama dapat menjadi hakim atau tidak.
Akan tetapi buku ini menjabarkan tentang peradilan islam mulai masa kesultanan Islam di Indonesia secara padat dan ringkas
Mengangkat fakta Peradilan Agama sebelum pra-Islam sampai politik hukum Islam Indonesia, serta kelembagaan yang ada didalamnya
Menguraikan masalah etika hakim yang beragama Islam, terobosan hukum acara peradilan Islam yang dapat dipilih oleh hakim dalam menentukan keadilan terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya
Tujuan Penulisan
Menceritakan perjalanan Peradilan Agama dari masa ke masa
Agar menjadi pegangan dalam mendiskusikan kembali dan memberikan dukungan bagi peran dan kedudukan hakim perempuan, baik secara legislasi maupun eksisensinya pada peradilan negara Indonesia.
Memotret pergumulan antara politik dengan institusi hukum Islam yang sering mengalami pasang surut.
Menjadi bahan kajian bagi intelektual muda dan penegak hukum di masa depan yang memerlukan materi hukum agar dapat meluas cakrawala pengetahuannya
Kemutakhiran/Update Data
Banyak menggunakan literatur baik dari buku, majalah, disertasi, peraturan perundang-undangan, bahkan internet
Kurang mendalam untuk pembahasan mengenai isu kontemporer
Cukup update mengenai rezim dan permasalahan politik hukum Islam yang berkaitan dengan Peradilan Agama
Dalam tiap teori penjelasan hukumnya, buku ini selalu menyertakan contoh kasus yang dihadapi oleh para hakim
Sasaran Pembaca
Semua kalangan yang membutuhkan informasi terkait Perdilan Agama
Akademsi, peneliti, dan para pemerhati hukum
Untuk kalangan umum, khususnya mahasiswa sejarah dan hukum.

Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan mahasiswa Fakultas Hukum Jurusan Hukum Islam



DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibnul Qayyim, Hukum Acara Peradilan Islam,  Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007
Aripin, Jaenal,  Jejak Langkah Peradilana Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013
Halim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Muqoddas Djazimah, Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilaln Islam di Negara-Negara Muslim , Yogyakarta: LKiS, 2011




CURRICULUM VITAE
Nama               : Wahyu Erman Hambali
TTL                 : Purbalingga, 14 Februari 2000
Alamat            : Baleraksa 03/05, Karangmoncol, Purbalingga
Jenis Kelamin  : Laki-laki
Agama             : Islam
No. Hp            : 0857-8672-2212
Email               : wahyuerman55@gmail.com
Riwayat Pendidikan
·         RA Baleraksa 01 (2003-2005)
·         MI Ma’arif NU 01 Baleraksa (2005-2011)
·         MTs Ma’arif NU 04  Tamansari (2011-2014)
·         MAN Purbalingga (2014-2017)
Riwayat Organisasi
·         HMI Komisariat Tarbiah dan Keguruan
·         KOPMA UIN Sunan Kalijaga            - 
·         Kopontren Al-munawwir
·         HMPS HKI 


[1] R. Tresna, Peradilan Di Indonesia  Dari Abad Ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978) cet.3, hlm. 14. Lihat pulaZuffran Sabrie (ed.), Peradilan Agama Di Indonesia: Sejarah Perkembangan Lembaga Dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya,( Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1999), hlm. 1.
[2] Zaini Ahmad Noeh, Sejarah Peradilan Agama, dalam Laporan Hasil Simposium Sejarah Peradilan Agama, Proyek Pembinaan Administrasi Hukum Dan Peradilan 1983, hlm. 26. Lihat juga Zuffran Sabrie (ed.), Peradilan Agama Di Indonesia: Sejarah Perkembangan Lembaga Dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, hlm. 2.
[3] Zuffran Sabrie (ed.), Peradilan Agama Di Indonesia: Sejarah Perkembangan Lembaga Dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, hlm. 3.
[4] Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama dalam Menyelesaikan Perkara Ekonomi Syariah, (Depok: Pratama Publishing Anggota IKAPI, 2010), hlm. 26.
[5] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, cet. 2, hlm 48-49.
[6]Lihat Busthanul Arifin, Makalah Seminar Nasional Peradilan Agama Di Indonesia,31 Juli 1993, hlm. 41.
[7]Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm 16. Pendapat Rofiq ini didasarkan pada tulisannya A. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 10.
[8]Deliar Noor, Administrasi Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hlm. 87.
[9]Muhammad Daud Ali, “Hukum Islam UUPA Dan Masalahnya” dalam Cik Hasan Bisri,Bunga Rampai Peradilan Islam Di Indonesia,(Bandung: Ulil Albab Press, 1997), hlm. 73.
[10]R. Subekti,  Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 38.
[11]Mardani, Hukum Acara PerdataPeradilan Agama DanMahkamahSyar'iyah, (Jakarta: SinarGrafika), hlm. 30.
[12] Ibid., hlm. 32.
[13]Van Eikema Hommes, Logica en rechtsvinding, (reneografie), Vrije Universiteit, hlm. 32, sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo dan Mr.A. Pitlo, dalam buku Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Citra Aditya Bakti bekerjasama dengan Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia foundation, 1993), hlm. 4.
[14] D. J. Colligan, Due Process an Fair Procedures, hlm. 10.

SEJARAH PEMBARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA

Nama                : Wahyu Erman Hambali NIM                 : 17103050051 Prodi/Kelas      : Hukum Keluarga Islam/C SEJARAH PEMB...