RESENSI BUKU
JEJAK LANGKAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Resensi ini disusun guna memenuhi tugas pengganti UAS mata kuliah
Sejarah Peradilan Hukum Acara Islam
Dosen Pengampu:
Dr. Malik Ibrahim, M.Ag.
Nip. 19660801 199303 1 002
Disusun Oleh:
Wahyu Erman Hambali
17103050051
HUKUM KELUARGA ISLAM (A)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAMNEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2019
2019
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI..................................................................................................... i
IDENTITAS BUKU......................................................................................... 1
SISTEMATIKA BUKU................................................................................... 3
KELEBIHAN DAN
KEKURANGAN........................................................... 3
KRITIK DAN SARAN.................................................................................... 3
PERBANDINGAN BUKU.............................................................................. 11
DAFTAR
PUSTAKA....................................................................................... 13
CURICULUM VITAE.................................................................................... 13
A. IDENTITAS BUKU
Judul : Jejak
Langkah Peradilan Agama Di Indonesia
Penulis :
Dr. H. Jaenal Aripin, M.Ag
Jumlah Halaman : xii, 364 hal
ISBN :
978-602-7985-00-1 347-010 959 8
Cetakan :
Ke-1, Mei 2013
Percetakan :
PT Kharisma Putra Utama
Penerbit :
Kencana Prenada Media Group
B.
SISTEMATIKA
ISI BUKU
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB I “DARI SERAMBI MASJID KE SERAM DI DUNIA: JEJAK LANGKAH PERADILAN AGAMA DI
INDONESIA”
A. Berawal
Dari Serambi Masjid
Keberadaan lembaga peradilan dalam
Islam merupakan conditio sine quanon, yaitu sesuatu yang mutlak adanya.
Sehingga di mana pun Islam berada maka disitu
terdapat lembaga peradilan yang
berfungsi sebagai lembaga yang menyelesaikan persengketaan antara pemeluk
Islam.
Pada masa kerajaan Islam, sudah ada lembaga yang
mengatur Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa terkait agama Islam. Pada
masa itu Peradilan Agama masih berbentuk sangat sederhana. Hal ini ditandai
dengan tempat dan digunakan untuk proses peradilan, yaitu dilakukan di
serambi-serambi masjid. Oleh karena itu peradilan pada masa kerajaan Islam
sering disebut sebagai “peradilan serambi”.
B. Beranjak
Dari Serambi Masjid
Pada masa awal kemerdekaan,
Peradilan Agama yang sebelumnya dikatakan sebagai peradilan serambi, mulai akan
beranjak dari serambi masjid yang melambangkan kesederhanaan administrasi dalam
proses penyelenggaraan persidangan, menuju kepada tatanan kelembagaan yang
lebih representatife meskipun belum memadai.
Upaya pembenahan tempat untuk penyelenggaraan
Peradilan Agama mulai muncul sejak disahkannya UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dengan lahirnya
undang-undang tersebut, eksistensi Peradilan Agama semakin kuat, juka
undang-undang tersebut yang mengilhami lahirnya UU No.7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
C. Meniti
Menuju Serambi Dunia
Peradilan Agama memiliki momen
penting untuk beranjak ke serambi dunia pada tanggal 30 Juni 2004. Langkah ini
terlihat jelas ketika Menteri Agama secara resmi menyerahkan urusan organisasi,
administrasi, dan finansial lingkungan Peradilan Agama kepada Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
Peradilan Agama akhirnya menjadi
peradilan satu atap di mana posisi Peradilan Agama ketika berada di bawah
Departemen Agama hanya berada pada tingkat eselon II, kemudian ketika berada
satu atap statusnya meningkat menjadi Eselon I.
Momentum lain yang dapat dirasakan
berkaitan dengan Peradilan Agama adalah ketika lahir dan disahkannya UU No. 3
tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Lahirnya undang-undang ini memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi
perkembangan Peradilan Agama pada masa berikutnya.
Kewenangan Peradilan Agama juga sudah
tidak lagi terbatas mengenai perkara yang terkait dengan hukum keluarga.
Kewenangan yang meliputi perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf, sedekah,
zakat, infaq, dan ekonomi syariah. Dengan demikian kewenangan baru tersebut,
maka Peradilan Agama sudah beranjak menjadi pengadilan yang menangani sengketa
akibat adanya transaksi dalam bidang ekonomi dan bisnis.
D. Berdiri
Kukuh Di Serambi Dunia: Menjadi Peradilan Modern Antara Cita dan Fakta.
Harapan dan cita-cita seluruh elemen
penyelenggara dan pemangku kebijakan di lingkungan Peradilan Agama untuk
menjadi pengadilan modern yang terbuka dan mampu berkiprah di seram di dunia,
bukanlah sebuah utopis. Beberapa program-program develop untuk meningkatkan
citra dan image kelembagaan Peradilan Agama, yang sudah banyak dilakukan, ternyata hasilnya melebihi ekspektasi
masyarakat terhadap pelajaran agama.
Recognize yang diberikan oleh
masyarakat Indonesia dan dunia, baik secara individu yang berperkara di
pengadilan agama, maupun kelembagaan yang menjadi mitra langsung maupun yang
tidak terkait secara langsung sudah banyak diberikan. Hal ini terlihat
misalnya, hasil survei yang dilakukan oleh the Asia foundation tahun 2005
tentang kredibilitas dan akuntabilitas lembaga hukum di Indonesia, ternyata
pelajaran agama menjadi satu-satunya institusi penegak hukum yang memiliki
performance yang paling baik. Oleh sebab itu Ditjen Badilag banyak menerima
tawaran kerjasama, tidak hanya dari lembaga-lembaga yang ada di Indonesia akan
tetapi juga dari lembaga luar negeri.
Atas dasar pencapaian yang dilakukan
oleh Ditjen Badilag, khususnya dalam memanfaatkan teknologi informasi tersebut,
secara khusus Cate Summer dan Tim Lindsey dalam Laporan Couting Reform
Indonesia's Islamic Court And Justice For The Poor, menyatakan bahwa
Pengadilan Agama berhasil menjadi contoh pengadilan yang sukses mereformasi
diri, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara.
BAB
2“BERAWAL DARI PERADILAN SERAMBI: POSISI PERADILAN AGAMA SEBELUM KEMERDEKAAN”
A. Peradilan
Serambi dan
Ragam Bentuk Peradilan
Peradilan Perdata dan Peradilan Padu
merupakan peradilan yang telah ada sebelum Islam datang ke Indonesia.[1] Eksistensi, posisi, dan kewenangan
kedua jenis peradilan tersebut bertahan cukup lama dan sangat otoritatif di
dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul di masyarakat, bahkan cenderung
mengalami perkembangan yang cepat seiring dengan perkembangan kehidupan
masyarakat saat itu.
Ketika
Islam datang, maka mulailah mencoba mencari cara yang tepat dalam menyelesaikan
sengketa yang terjadi diantara pemeluk Islam. Oleh karena itu mulai dikenalkan
lembaga yang dijadikan sebagai tempat untuk menyelesaikan persengketaan antar
umat Islam yang dikenal atau disebut “Qadha”.[2]
Momentum awal masuknya nilai-nilai
Islam ke dalam sistem Peradilan Agama pada masa kerajaan Mataram diperoleh
ketika kerajaannya berubah menjadi kerajaan Islam. Penamaan peradilan pada masa
kerajaan Mataram disebut dengan Peradilan Serambi, karena sidangnya
dilaksanakan di serambi Masjid Agung, juga sebagai penanda bahwa peradilan
tersebut mengadopsi nilai-nilai Islam dalam proses peradilannya.[3]
Berbeda dengan kondisi kerajaan
Mataram, Yogyakarta dan Surakarta masih tetap mempertahankan pranata hukum
sosial Islam dalam masyarakat. Di Kesultanan Banten, peradilannya juga sudah
disusun berdasarkan ajaran Islam. Begitu pula halnya di daerah kesultanan
Cirebon, sistem peradilan yang dilaksanakan sudah benar-benar sesuai dengan
ajaran Islam. Bahkan dalam pertahanan prakteknya pengadilan dilaksanakan oleh
tujuh orang menteri yang mewakili tiga sultan, yaitu Sultan sepuh, Sultan Anom,
dan Panembahan Cirebon. Begitu pula halnya dengan realitas yang ada di Aceh,
tidak hanya eksistensi Peradilan Agama yang kuat, akan tetapi pelaksanaan hukum
Islam secara keseluruhan sudah berjalan dengan baik.[4]
B. Surat Raja Tahun 1882: Antara Serambi Masjid dan Serambi Indonesia
Berawal dari surat Raja Willen tahun
1882, Peradilan Agama tidak saja diakui
eksistensinya, namun kedudukannya secara konstitusional sudah kuat
sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman bersama dengan badan
badan peradilan lainnya yang ada pada masa itu.
Sebenarnya, Staatsblad No.
152 tahun 1882, sesungguhnya tidak hanya mengakui eksistensi Peradilan Agama,
tapi juga mengatur perubahan terhadap susunan badan Peradilan Agama. Akan
tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah, bahwa pemerintah Hindia
Belanda secara konstitusional telah mengakui keberadaan Peradilan Agama sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia bersama badan peradilan lainnya.
C. Peradilan
Agama dan Dinamika Kompetensinya Pasca Tahun 1882.
Meskipun telah lahir Staatsblad
1882 No. 152 yang memperkuat Peradilan Agama, namun di dalamnya belum
dirumuskan secara jelas tentang kewenangan pengadilan agama dan tidak pula
dibuat garis pemisah yang tegas antara kewenangan pengadilan agama dan
pengadilan negeri.[5]
Maka dari itu pengadilan Agama menetapkan sendiri perkara-perkara yang
dipandang masuk dalam lingkungan kekuasaannya.
Setelah Belanda mengakui Peradilan
Agama, bukan berarti Belanda mendukung sepenuhnya terhadap Peradilan Agama itu
sendiri. Belanda menganggap bahwa Peradilan Agama sebagai penghalang
kepentingan pemerintahannya, dan karena itu Belanda terus berupaya untuk
mengeliminasi hukum Islam. Langkah yang dilakukan kolonial untuk
mengeliminasi hukum Islam, menurut
Arifin adalah dengan jalan rekayasa ilmiah hukum yang meliputi tiga hal;[6] 1) unifikasi, 2) penemuan
hukum adat, dan 3) citra palsu bagi pelajaran agama. Kemudian
setelah itu lahirlah staatsblad 1937 nomor 116 dengan cara menambah pasal 2
ayat 1 yang membuat kompetensi Peradilan Agama menjadi lebih sempit.
Pasang surut yang terkait dengan
kompetensi pengadilan agama tersebut, sebenarnya tidak lepas dari upaya
pemerintah Hindia Belanda untuk melemahkan pengaruh hukum Islam di Indonesia.
Karena itu upaya memperlemah hukum Islam tersebut dilakukan dengan mengangkat
dan menjadikan hukum adat sebagai perisai, terutama yang terkait dengan masalah
sengketa harta benda, yaitu kewarisan dan perwakafan.
D. Peradilan
Vis A Vis Politik Hukum Kolonial
1882-1945.
Teori dan upaya yang dilakukan oleh
Van Den Berg yang mendukung hukum Islam di Indonesia, ternyata dianggap sangat
membahayakan bagi kelangsungan proses kolonialisasi yang dilakukan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Kemudian munculah teori receptie yang
dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Teori ini mengatakan bahwa hukum yang
berlaku bagi orang-orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum
Islam dapat berlaku apabila telah di resepsi oleh hukum adat.[7]
Akibat kuatnya pengaruh teori receptie
tersebut, pemerintah Hindia Belanda kemudian melancarkan kebijakan politik
hukum yang baru yang terkait dengan pelaksanaan dan penerapan hukum Islam,
terutama terkait dengan kewenangan Peradilan Agama. Namun bila diperhatikan
penerapan ide-ide yang dikemukakan oleh Snouck sangat ampuh dalam menciptakan
dan mengumpulkan politik devide et imperedi Indonesia. Salah satu
contohnya adalah didirikannya Mahkamah Islam Tinggi sebagai pengadilan banding
bagi seluruh pengadilan agama di Jawa dan Madura.
Pada masa penjajahan Jepang pada
tahun 1942, Jepang menerapkan dua kebijakan. Kebijakan pertama yang dilakukan
Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan
perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan Hindia Belanda dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan.
kebijakan kedua yaitu pada tanggal 29 April 1942 menetapkan UU No. 14
tahun 1942 yang menjelaskan bahwa susunan peradilan sipil di Jawa dan Madura
masih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya, hanya saja nama-namanya disesuaikan
dengan nama dan sebutan dalam bahasa Jepang, untuk nama kedudukan para pejabat
dan nama kantor, sementara fungsi dan wewenangnya sama dengan masa kolonial
Belanda.[8]
BAB
3 “MELANGKAH MENUJU SERAMBI DUNIA: PERJALANAN PERADILAN AGAMA SEBELUM SATU
ATAP”
A.
Berada Di Serambi Indonesia: Pergulatan Status Dan Kedudukan,
Pada kurun waktu 1996-1948 terdapat beberapa
aturan,
baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah yang menyangkut
Peradilanagama. Pertama,
keluarnya UU No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk. Kedua, keluarnya penetapan Menteri Agama No. 6 tahun 1947 tentang
Penetapan Formasi Pengadilan Agama terpisah dari penghulu kabupaten. Ketiga,
keluarnya UU No. 19 Tahun 1948 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1947
tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung RI. Keempat, keputusan Recomba
Jawa Barat No. Rec Wj. 229/72 tanggal 2 April 1958 dan peraturan yang tercantum
dalam JavaascheCourant 1946 No 32 dan 39 tahun 1948 dan UU No. 25 tahun
1999 dan 65 menentukan bahwa, di daerah-daerah yang dikuasai tentara sekutu dan
Belanda, instansi yang dinamakan Priesterraad diubah menjadi Penghoeloe
Gerecht.
B.
Antara Serambi Masjid Dan Serambi Indonesia:
Konflik Kewenangan Peradilan Agama
Kewenangan Peradilan Agama dalam
perjalanannya terus mengalami dinamika. Munculnya dinamika yang menyangkut
tentang Peradilan Agama, khususnya terkait dengan kewenangan, tidak terlepas
dari politik hukum yang diterapkan sejak masa penjajahan sampai masa
kemerdekaan dan berlanjut pada ujung masa Orde Baru.
C.
Dari Kitab Kuning Ke Kitab Putih: Positivisasi Hukum Materiel Peradilan
Agama
Hukum Islam yang berlaku di
Indonesia dapat dibagi menjadi dua.[9] hukum Islam berlaku secara
normatif, dan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal. Baik hukum yang
berlaku secara normatif maupun formal, keduanya telah menjadi hukum yang hidup
atau (living Law) dalam masyarakat.
Dengan dibentuknya Kompilasi Hukum
Islam dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya yang dijadikan sebagai
pegangan oleh hakim dalam memutuskan perkara di Peradilan Agama, menunjukkan
adanya keberanjakan hukum materiil dari sekadar kitab kuning ke dalam
kodifikasi kitab putih sebagai bentuk pengakuan akan eksistensi hukum Islam di
Indonesia.
D.
Antara Departemen Agama dan Mahkamah
Agung: Posisi Peradilan Agama dalam Dua Kekuasaan.
Pada masa orde baru, kekuasaan
dari lembaga peradilan (yudikatif) mengalami perkembangan yang signifikan.
Mengingat dengan diundangkannya UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman, bukan saja dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka dan bebas dari campur tangan kekuasaan lain untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Di samping itu, hal penting yang perlu
diperhatikan dalam hal kekuasaan kehakiman dan hubungannya dengan Mahkamah
Agung serta departemen, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi, seperti
yang diungkapkan oleh R. Subekti bahwa kebebasan Hakim yang menjadi sendiri
peradilan yang baik tidak saja dalam hal larangan untuk mempengaruhi kekuasaan
lembaga peradilan oleh kekuasaan lain di luar kekuasaan lembaga peradilan, tapi
Mahkamah Agung juga dilarang campur tangan terhadap atau mempengaruhi suatu
peradilan dibawahnya yang sedang memeriksa dan memutus suatu perkara.[10]
BAB 4 “DIANTARA DUA SERAMBI: INDONESIA DAN DUNIA: KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA PASCA SATU ATAP”
A.
Menuju
Serambi Dunia: Berawal Dari Penyatuatapan
Lembaga-lembaga peradilan yang awalnya
berada di bawah kekuasaan eksekutif ke Mahkamah Agung sebagai pelaksana
kekuasaan yudikatif, merupakan perintah konstitusional yang mutlak yang harus
dilakukan. Proses penyatuan satu atap ini bagi Peradilan Agama merupakan
momentum yang penting dalam mengawali kiprahnya, bukan hanya di serambi
Indonesia, tetapi juga di serambi dunia.
Penerapan peradilan Satu Atap di
Indonesia, dimaksudkan untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek formasi (variabel
Independent). Tujuan lain dilakukannya penyatuatapan badan peradilan yaitu
untuk menciptakan independensi lembaga peradilan. Setelah proses penyatuatapan badan peradilan berjalan
hampir delapan tahun, maka sudah tidak ada lagi lembaga yang berada di bawah
kekuasaan eksekutif, semuanya sudah berada di bawah Mahkamah Agung, termasuk Peradilan
Agama.
B.
Berciri Mandiri Bercitra Modern: Status dan
Kedudukan Peradilan Agama
Dinamika yang dialami Peradilan Agama
cukup pelik serta terdapat pasang surut
dari masa penjajahan sampai awal kemerdekaan, baik menyangkut status dan
kedudukan, maupun kewenangannya. Pada masa orde lama, badan peradilan sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman belum mengarah pada bentuk yang ideal yakni
Mandiri dan independen. Karena itu, untuk memperbaiki kekurangan pelajaran
agama dan menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, Presiden
RI menyampaikan RUU Peradilan Agama (RUUPA) kepada DPR. Setelah melalui
perdebatan yang cukup panjang, akhirnya RUU tersebut dapat disahkan menjadi UU, undang-undang inilah yang kemudian dikenal
dengan undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pada era reformasi,
eksistensi Peradilan Agama mencapai puncak kekukuhanya pada tahun 2001, saat
kesepakatannya Perubahan ketiga UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam pasal 24 UUD 1945 hasil amandemen, secara eksplisit dinyatakan bahwa
lingkungan Peradilan Agama Sebutkan sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman di Indone sia, bersama
lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung.
Dengan demikian, setelah satu atap,
hal-hal yang menyangkut dengan struktur dan pendudukan Peradilan Agama telah
mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perkembangan menyangkut perubahan
badan agama pasca Satu Atap tersebut, telah menunjukkan bahwa harapan besar
akan terwujudnya kemandirian dan independensi lembaga peradilan sebagai wujud
demokrasi dan cerminan negara hukum (rechtsstaat).
C.
Diantara Dua Serambi: Kedudukan dan Kewenangan
Mahkamah Syar’iyah
Mahkamah Syar'iyah adalah peradilan syariat Islam dan merupakan bagian dari
sistem peradilan nasional yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Mahkamah Syar'iyah
adalah lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan Qanun nomor 11 tahun 2002
tentang Peradilan syariat Islam melaksanakan syariat Islam dalam wilayah
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan pengembangan dari pengadilan
agama yang telah ada.[11]
Dasar hukum pemberlakuan Mahkamah Syar'iyah yaitu pasal 1 ayat 4
Undang-Undang Darurat Nomor 11 tahun 1951, maka dikeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 29 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar'iyah di Provinsi Aceh, yang selanjutnya dengan PP No. 45 tahun 1957, PengadilanAgama
atau Mahkamah syar'iyah dibentuk di Aceh, dibentuk juga untuk daerah-daerah
lainnya di luar Jawa-Madura.[12]
Adapun kedudukan Mahkamah Syariah, berdasarkan pasal 4 Keputusan
Presiden Nomor 11 tahun 2003 dan pasal 130 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, terdiri atas maka masyarakatnya kabupaten/kota, sebagai peradilan tingkat
pertama dan Mahkamah Syar'iyah Tinggi (Peradilan tingkat banding) yang berada
di ibukota provinsi. Putusan Mahkamah Syariah Aceh juga dapat dimintakan kasasi
kepada Mahkamah Agung.
Mengenai kewenangan Mahkamah Syar'iyah, UU No. 18 tahun 2001
menyerahkan urusan tersebut pada Qanun Nanggroe Aceh Darussalam. Setelah disahkannya Qanun provinsi NAD No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat
Islam, dalam pasal 49 disebutkan bahwa kewenangan Mahkamah Syar'iyah meliputi
perkara-perkara di bidang perdata yang meliputi hukum kekeluargaan, hukum
perikatan, dan hukum harta benda serta perkara-perkara di bidang pidana,
meliputi qisas-diat, hudud dan takzir sebagai kewenangan Mahkamah
Syariah.
D.
Beranjak Menjadi Peradilan Modern: Kewenangan Baru dan
Positivisasi Hukum Materiel
Berdasarkan UU No. 7 tahun 1889, Peradilan
agama hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi dengan diberlakukannya UU No. 3
tahun 2006, memberikan paradigma baru terhadap Peradilan Agama.
Oleh karena peraturan tersebut, maka pasal
9 dalam UU No. 7 tahun 1889 diubah oleh UU No 3 tahun 2006, sehingga bunyinya
menjadi: " Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang: (a) perkawinan; (b )waris; (c) wasiat, (d) hibah, (e) wakaf, (f)
zakat, (g) infaq, (h) sedekah, dan (i) ekonomi syariah”.
E.
Menjadi Hakim Modern dan Profesional Peran Hakim
Sebagai Penemu Hukum
Dalam perspektif sistem peradilan, hakim
memegang peranan yang sangat penting. Hakim tidak hanya sebagai penegak hukum
dan keadilan, tetapi juga sebagai pejabat negara yang mempunyai tugas mulia
dalam rangka mewujudkan negara hukum dan selalu berupaya memberikan kepastian
hukum, dan pemanfaatan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Penemuan hukum merupakan proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret.[13]
Mengingat dalam praktek sering terjadi adanya suatu peristiwa atau perbuatan hukum yang tidak dijumpai
ketentuan hukumnya dalam undang-undang maupun yurisprudensi karena perkembangan
kehidupan masyarakat yang selalu lebih cepat daripada perkembangan hukum itu
sendiri.
BAB 5 “BERADA DI SERAMBI
DUNIA: PERADILAN AGAMA ANTARA PRESTASI DAN PREDIKSI”
A.
Menetap
Serambi Dunia: Keberanjakan dan Perubahan
Dalam rangka menatap serambi dunia,
keberanjakan dan perubahan yang dilakukan di lingkungan Peradilan Agama
khususnya menyangkut tentang kapasitas kelembagaan adalah perjuangan untuk
menyempurnakan struktur organisasi, peningkatan sumber daya, melengkapi sarana
dan prasarana dan peningkatan anggaran. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk
menciptakan dan membangun tim kerja yang solid agar rencana strategis dalam
program pengembangan Peradilan Agama bisa dilaksanakan sesuai dengan target
capaian yang telah ditetapkan. Selain itu juga, untuk meningkatkan performa dan
citra diri Peradilan Agama agar kinerjanya sebagai institusi hukum menjadi
lebih baik.
B.
Menapak Serambi Dunia: Program Unggulan dan Prioritas
Untuk memantapkan langkah Peradilan Agama agar dapat
menampak di serambi dunia, Ditjen Badilag menyusun dan mengembangkan beberapa
program unggulan dan prioritas dalam rangka memperkuat kapasitas kelembagaan Peradilan
Agama. Adapun beberapa program unggulan dan prioritas Ditjen Badilag sebagai
berikut: a) informasi teknologi, b) pengembangan bahasa inggris, dan c)
pengembangan bahasa arab.
Selain mempunyai program yang telah disebutkan di
atas, Ditjen Badilag juga mempunyai program-program unggulan yang disediakan
bagi masyarakat pencari keadilan, program-program tersebut antara lain: a)
sidang keliling, b) pos bantuan hukum (posbakum), c) prodeo, dan d) pembentukan one
stop service.
C.
Positioning Di Serambi
Dunia: Prestasi dan Apresiai
Prestasi dan apresiasi yang diraih oleh Peradilan
Agama sudah sangat banyak didapatkan baik dalam negeri maupun luar negeri, baik
dari perorangan maupun institusi. Misalnya saja Cate Summer dan Tim Lindsey, dalam laporan berjudul “Courting Reform Indonesia's Islamic Courts
And Justice For The Poor”, menyatakan bahwa Pengadilan Agama berhasil
menjadi contoh pengadilan yang sukses mereformasi diri bahkan hingga lingkup
Asia Tenggara. Peradilan agama juga mendapat apresiasi dari para konsultan di
bidang "Capacity Building Impact
Studies" AusAID. Demikian pula penghargaan dan apresiasi hal-hal
lainnya seperti client service,
manajemen komunikasi, manajemen perubahan, justice
for the poor, dan sistem transparansi yang sudah banyak diterapkan dan
dilakukan peningkatannya di lingkungan Peradilan Agama.
D.
Bergaul Di Serambi Dunia:
Kerja Sama dengan Dunia Barat, Timur, dan Asia
Dalam rangka meningkatkan pergaulan di serambi dunia,
maka pada bulan Juli 2008, melakukan penandatanganan MoU antara Mahkamah Agung
RI, The Federal Court Of Indonesia, dan The Family Court Of Australia di Melbourne, Australia.[14] Tujuan dari
penandatanganan ini adalah untuk melaksanakan program-program kerja sama teknis
yudisial dalam pengembangan peradilan dan pemahaman tentang isu-isu hukum
kontemporer lain yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Sejak Peradilan Agama menjalin kerjasama dengan negara
barat, maka Peradilan Agama semakin dikenal di dunia luar. Oleh karenanya, pada
bulan September 2006, delegasi Mahkamah Agung RI pergi ke Amerika Serikat untuk
mengikuti seminar dan Short Course yang diselenggarakan di kampus Southwestern
Law School Los Angeles. Seminar ini membahas tentang perkembangan hukum di
Aceh, dan masih banyak sekali kegiatan kerjasama perdilan agama dengan negara
luar yang tentunya sangat membanggakan bagi perkembangan Peradilan Agama.
E.
Berdiri Kukuh Di Serambi
Dunia: Prediksi dan Harapan
Segala bentuk upaya/usaha dan hasil nyata yang sudah dilalui dan diberikan
oleh Peradilan Agama memberikan pandangan bahwa Peradilan Agama diprediksikan
akan mengarah dan menjadi peradilan yang modern yang pasti akan terwujud. Hal
ini sudah mulai terlihat dengan eksistensi Peradilan Agama Indonesia yang sudah
semakin kuat dan juga sudah berdiri kokoh di serambi dunia, dan sudah tidak
lagi terombang ambing, baik status, kedudukan, maupun kewenangannya.
C.
URGENSITAS BUKU
Buku Peradilan Agama mempunyai
urgensitas yang sangat berguna bagi dokumentasi historitas perjalanan dan perkembangan Peradilan Agama.
Buku ini awalnya ditulis dalam rangka ulang tahun yang ke-130 tahun kelahiran
Peradilan Agama yang
dirayakan pada bulan Oktober 2012.
Indonesia adalah negara hukum
yang sebagian lebih warganya beragama Islam, oleh sebab itu Informasi dan pengetahuan terkait
lembaga hukum yang ada di Indonesia sangat dibutuhkan bagi masyarakat
Indonesia.
Banyak sekali tulisan dalam
bentuk artikel maupun jurnal yang terkait dengan peradilan, menggunakan buku
ini sebagai rujukan utama sebagai bahan tulisan mereka.Hal ini dikarenakan karena dalam buku
ini menjelaskan perjalanan Peradilan Agamadari masa ke masa. Dimulai dari masa sebelum Islam datang, masa kerajaan Islam, masa penjajahan, masa
orde lama dan orde baru, hingga yang sekarang ini.
Tidak sedikit pula perkuliahan
yang menjadikan buku ini sebagai materi dalam proses pembelajaran. Pembahasanmateri tentang hukum tidak akan terlepas dari lembaga penegak hukum layaknya Peradilan Agama.
D.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU
Kelebihan buku Jejak Langkah
Peradilan Agama Di Indonesia dari aspek tampilan dan judul sudah cukup untuk
menarik perhatian pembaca. Dalam covernya terdapat gambar tentang persidangan dan
majelis sidang, hal ini menunjukkan bahwa buku ini memang dibuat untuk membahas
tentang hukum peradilan di Indonesia.Sedangkan kekurangannya terdapat pada
kualitas kertas yang digunakan untuk sampulnya, sehingga mengakibatkan mudahnya
kerusakan yang terjadi pada sampul buku tersebut.
Dari aspek tata letak
penulisannya sudah cukup memenuhi standar penulisan, hanya saja penomoran
halaman pada awal bab tidak dicantumkan, sehingga membuat pembaca harus membuka
lembar sebelum atau sesudahnya untuk mengetahui halaman berapa yang ada pada
awal bab tersebut. Penyertaan gambar pada buku ini sangat
membantu sekali bagi pembaca untuk lebih memahami isi buku.
Kelebihan
dari aspek pembahasan sudah sangat bagus yang menjelaskan runtutan perjalanan Peradilan
Agama, juga adanyaprestasi dan keluasan jaringan pada sistem hukum di Indonesia
menjadikan isi buku ini menjadi lengkap.Bahasa yang digunakan cukup mudah dimengerti bagi
pembaca untuk dapat memahami isi buku yang disajikan. Penggunaan
istilah-istilah asing juga tidak terlalu banyak digunakan, hal ini merupakan
sisi positif karena mengurangi atau mencegah terjadinya ketidakpahaman pembaca
disebabkan karena banyaknya penggunaan istilah asing tanpa adanya penjelasan.
E. KRITIK DAN SARAN
Segala
kekurangan yang terkait buku ini baik dari sampul, isi, hingga daftar pustaka,
harap menjadi pembenahan agar buku ini menjadi lebih baik lagi. Buku ini masih juga kurang banyak materinya tentang Lembaga
Peradilan Agama.
Saran penulis terhadap buku ini adalah agar buku ini diperbaiki
mengenai hal-hal yang membuat buku ini menjadi kurang kualitansnya. Pembahasan
mengenai Lembaga Peradilan Agama jika bisa diperdalam lagi, agar dapat menambah
kualitas buku, sehingga ilmu yang didapatkan pembaca tidak setengah-setengah.
F. PERBANDINGAN BUKU PRIMER DENGAN BUKU SEKUNDER
No.
|
Judul
Buku
|
Penulis
|
Penerbit
|
Kota
dan Tahun Terbit
|
Cet/
Jumlah Halaman
|
1.
|
Kontroversi
Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam Di Negara-Negara Muslim
|
Djazimah
Muqoddas
|
LKiS Yogyakarta
|
Yogyakarta, 2011
|
xxx
+ 298 Halaman,
Cetakan : I (Satu
|
2.
|
Peradilan Agama dalam Politik Hukum
Indonsia
|
Abdul Halim
|
PT Raja Grafindo Persada
|
Jakarta, 2002
|
Cet. II, xxii, 268 hlm.; 21 cm
|
3.
|
Hukum
Acara Peradilan Agama
|
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah
|
Pustaka
Pelajar
|
Yogyakarta,
2007
|
646
hlm ; 21 cm.
Cetakan ke-1, Januari 2006 Cetakan ke-2, Agustus 2007
|
Aspek
|
Buku
Primer
|
Buku
Skunder I
|
Buku
Skunder II
|
Buku
Skunder III
|
Latar
Belakang Penulisan
|
Buku ini ditulis dalam rangka ulang tahun yang
ke-130 tahun kelahiran Peradilan Agama
|
Desertasi penulis yang dipertahankan di
sidang tebuka Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Alasan
kepenulisannya adalah masih banyak terjadinya bias gender terhadap perempuan
dalam dunia Islam
|
Salah satu usaha untuk memotret konfigurasi politik
dan karakter hukum di masa rezim Soeharto, dan sebagai evaluasi terhadap
kebijakan politik di Indonesia.
|
Sebagai
bahan kajian dalam rangka memantapkan sistem hukum nasional.
|
Kedalaman/
keluasan isi Materi
|
Menjelaskan
historitas dan perkembangan Peradilan Agama dari serambi masjid menuju
serambi dunia
|
Pembahasan
dalam buku ini lebih menekankan pada apakah perempuan di dalam lingkup
peradilan agama dapat menjadi hakim atau tidak.
Akan tetapi
buku ini menjabarkan tentang peradilan islam mulai masa kesultanan Islam di
Indonesia secara padat dan ringkas
|
Mengangkat fakta Peradilan Agama sebelum
pra-Islam sampai politik hukum
Islam Indonesia, serta kelembagaan yang ada didalamnya
|
Menguraikan masalah etika hakim yang beragama Islam, terobosan
hukum acara peradilan Islam yang dapat dipilih oleh hakim dalam menentukan
keadilan terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya
|
Tujuan
Penulisan
|
Menceritakan
perjalanan Peradilan Agama dari masa ke masa
|
Agar menjadi pegangan dalam
mendiskusikan kembali dan memberikan dukungan bagi peran dan kedudukan hakim
perempuan, baik secara legislasi maupun eksisensinya pada peradilan negara
Indonesia.
|
Memotret pergumulan antara politik
dengan institusi hukum Islam yang sering mengalami pasang surut.
|
Menjadi bahan kajian bagi intelektual muda dan penegak hukum di
masa depan yang memerlukan materi hukum agar dapat meluas cakrawala
pengetahuannya
|
Kemutakhiran/Update
Data
|
Banyak
menggunakan literatur baik dari buku, majalah, disertasi, peraturan
perundang-undangan, bahkan internet
|
Kurang
mendalam untuk pembahasan mengenai isu kontemporer
|
Cukup update mengenai rezim dan
permasalahan politik hukum Islam yang berkaitan dengan Peradilan Agama
|
Dalam tiap teori penjelasan hukumnya, buku ini selalu menyertakan
contoh kasus yang dihadapi oleh para hakim
|
Sasaran
Pembaca
|
Semua
kalangan yang membutuhkan informasi terkait Perdilan Agama
|
Akademsi, peneliti, dan para pemerhati
hukum
|
Untuk
kalangan umum, khususnya mahasiswa sejarah dan hukum.
|
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan mahasiswa Fakultas Hukum Jurusan
Hukum Islam
|
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibnul Qayyim, Hukum
Acara Peradilan Islam, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2007
Aripin, Jaenal, Jejak
Langkah Peradilana Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2013
Halim, Abdul, Peradilan Agama
dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Muqoddas Djazimah, Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilaln Islam di Negara-Negara
Muslim , Yogyakarta: LKiS, 2011
CURRICULUM VITAE
Nama : Wahyu Erman Hambali
TTL : Purbalingga, 14 Februari
2000
Alamat : Baleraksa 03/05, Karangmoncol,
Purbalingga
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
No. Hp : 0857-8672-2212
Email : wahyuerman55@gmail.com
Riwayat
Pendidikan
·
RA Baleraksa 01 (2003-2005)
·
MI Ma’arif NU 01 Baleraksa (2005-2011)
·
MTs Ma’arif NU 04 Tamansari (2011-2014)
·
MAN Purbalingga (2014-2017)
Riwayat Organisasi
·
HMI Komisariat Tarbiah dan Keguruan
·
KOPMA UIN Sunan Kalijaga -
·
Kopontren Al-munawwir
·
HMPS HKI
[1] R. Tresna, Peradilan Di
Indonesia Dari Abad Ke Abad,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1978) cet.3, hlm. 14. Lihat pulaZuffran Sabrie
(ed.), Peradilan Agama Di Indonesia: Sejarah Perkembangan Lembaga Dan Proses
Pembentukan Undang-Undangnya,( Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1999), hlm. 1.
[2] Zaini Ahmad Noeh, Sejarah
Peradilan Agama, dalam Laporan Hasil Simposium Sejarah Peradilan Agama, Proyek
Pembinaan Administrasi Hukum Dan Peradilan 1983, hlm. 26. Lihat juga Zuffran
Sabrie (ed.), Peradilan Agama Di Indonesia: Sejarah Perkembangan Lembaga Dan
Proses Pembentukan Undang-Undangnya,
hlm. 2.
[3] Zuffran Sabrie (ed.), Peradilan
Agama Di Indonesia: Sejarah Perkembangan Lembaga Dan Proses Pembentukan
Undang-Undangnya, hlm. 3.
[4] Hasbi Hasan, Kompetensi
Peradilan Agama dalam
Menyelesaikan Perkara Ekonomi Syariah,
(Depok: Pratama Publishing Anggota IKAPI, 2010), hlm. 26.
[5] A. Basiq Djalil, Peradilan
Agama Di Indonesia, cet. 2, hlm 48-49.
[6]Lihat Busthanul Arifin, Makalah
Seminar Nasional “Peradilan
Agama Di Indonesia”,31
Juli 1993,
hlm.
41.
[7]Ahmad Rofiq,
Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm
16. Pendapat Rofiq ini didasarkan pada tulisannya A. Aqib Suminto, Politik
Islam Hindia Belanda, hlm. 10.
[9]Muhammad Daud Ali, “Hukum Islam
UUPA Dan Masalahnya” dalam Cik Hasan Bisri,Bunga Rampai Peradilan Islam
Di Indonesia,(Bandung: Ulil Albab Press, 1997), hlm. 73.
[10]R. Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung:
Alumni, 1981), hlm. 38.
[11]Mardani, Hukum Acara
PerdataPeradilan Agama DanMahkamahSyar'iyah, (Jakarta: SinarGrafika), hlm. 30.
[13]Van Eikema
Hommes, Logica en rechtsvinding,
(reneografie), Vrije Universiteit, hlm. 32, sebagaimana dikutip oleh Sudikno
Mertokusumo dan Mr.A.
Pitlo, dalam buku Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Citra
Aditya Bakti bekerjasama
dengan Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia
foundation, 1993), hlm. 4.
[14] D. J. Colligan, Due Process an Fair Procedures, hlm. 10.