Kamis, 12 Maret 2020
OBJEK GUGATAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
OBJEK GUGATAN
DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Makalah ini ditujukan guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Program Studi Hukum Keluarga Islam
Dosen Pengampu:
Andriyani Masithoh, SH., MH.
Disusun oleh:
Wahyu Erman Hambali 17103050051
Rizky Candra Agung 17103050055
Dewi Puji Lestari 17103050057
Nur Akhmad Hidayat 17103050059
Iqbal Ubaidilah A. 17103050066
Naufal Adi Yuanto 17103050067
Muhammad Faiz Farhan 17103050071
Iqbal Hamdani 17103050072
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTARAssalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, yang telah melimpahkan petunjuk, bimbingan dan kekuatan lahirbatin kepada diri penulis, sehingga makalah ini dapat ditulis sebagaimana mestinya. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan oleh-nya kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad Saw, para sahabat dan semua pengikutnya yang setia di sepanjang zaman. Amin.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, meskipun penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang baik. Oleh karena itu, betapapun usahanya dan untuk dirasakan, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi peningkatan dan perbaikan-perbaikan di masa yang akan datang.
Akhirnya penulis hanya berharap semoga karya yang masih sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Atas segala khilaf dan kekurangannya, penulis haturkan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Yogyakarta, 01 Maret 2020
Penulis
DAFTAR ISI
A.
Kata Pengantar………………………………………………………
2
B.
Daftar Isi…………………………………………………………….
3
C.
BAB I : PENDAHULUAN…………………………………………
4
1. Latar Belakang……………………………………………………
4
2. Rumusan Masalah………………………………………………...
5
3. Tujuan Penulisan…………………………………………………
5
D.
BAB II : PEMBAHASAN…………………………………………
6
Objek Gugatan dalam Peradilan Tata Usaha Negara…………….
6
2. Keputusan Tata Usaha Negara……………………………………
6
Fiktif Negatif dan Positif………………………………………..
9
E.
BAB III : PENUTUP………………………………………………
13
1. Kesimpulan………………………………………………………
13
F.
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………
14
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka termasuk di dalamnya ada Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat dengan PTUN) dibentuk dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat pencari keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Maksud adanya peradilan adalah memberikan keadilan kepada para pihak dan demikian menghilangkan sengketa. Sengketa merupakan sesuatu yang mengganggu ketentraman, tata tertib, dan kedamaian masyarakat, sehingga keseimbangan masyarakat tergoncang karenanya. Dengan adanya peradilan termasuk PTUN diharapkan kegoncangan dalam masyarakat akibat kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup dapat dipulihkan.
Kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia pada tahun 1986 mendapat banyak dukungan dari masyarakat, namun kehadirannya justru tidak disambut baik oleh pejabat-pejabat pemerintahan. Hal ini dikarenakan dengan hadirnya Peradilan Tata Usaha Negara akan membuat kepentingan pribadinya tidak berjalan dengan mulus, sehingga sebagian pejabat pemerintahan berusaha untuk mencari celah-celah yang memungkinkan agar terhindar dari jerat hukumnya.
Dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa “Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah”. Sehingga Peradilan Tata Usaha Negara ini berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa lembaga negara yang ada di Indonesia.
Dalam hal wewenang Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara, maka perlu dipahami juga objek-objek gugatan dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
Rumusan Masalah
Apa saja yang menjadi Objek Gugatan dalam Peradilan Tata Usaha Negara ?
Apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara ?
Apa yang dimaksud dengan fiktif negatif dan positif ?
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui Objek Gugatan dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Untuk mengetahui maksud dari Keputusan Tata Usaha Negara
Untuk mengetahui maksud dari fiktif negatif dan positif
BAB II
PEMBAHASAN
Objek Gugatan dalam Perdilan Tata Usaha Negara
Objek Gugatan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 jo Pasal 3 UU No 5 tahun 1986, dapat disimpulkan bahwa objek gugatan dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah:
Keputusan Tata Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 (9) Undang-undang No. 51 Tahun 2009 adalah “Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Yang di persamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara
Sebagaimana yang disebut dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 dan Pasal 53 Undang-undang No. 30 Tahun 2014, dapat disimpulkan bahwa maksud dari yang dipersamakan dengan Keputusan tata Usaha Negara adalah fiktif negatif dan fiktif positif.
Keputusan Tata Usaha Negara
Sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan pada Pasal 1 (9) Undang-undang No. 51 Tahun 2009 keputusan tata usaha Negara adalah “Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Keputusan Tata Usaha Negara atau disebut juga sebagai keputusan administrasi Negara yang berasal dari bahasa belanda beschikking yang berarti norma hukum yang bersifat individual dan konkret sebagai keputusan pejabat tata usaha Negara atau administrasi Negara.
Menurut St. Ellinga yakni keputusan sesuatu alat pemerintah (dalam arti luas) yang isinya tidak terletak didalam lapangan pembuatan peraturan, kepolisian, dan pengadilan.
Berkaitan dengan unsur-unsur keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud oleh ketentuan diatas, ada dua pendapat mengenai unsur-unsur keputusan tata usaha negara tersebut, yaitu :
Menurut Indroharto, unsur keputusan tata usaha negara ada 6 (enam), yaitu:
Bentuk penetapan itu harus tertulis;
Ia dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara;
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Bersifat Konkret, Individual dan final;
Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Menurut Paulus E. Lotulung, yang menyatakan bahwa unsur keputusan tata usaha negara ada 7 (tujuh), yaitu:
Penetapan tertulis;
Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Bersifat Konkret;
Individual;
final;
Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sebagaimana yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Tata Usaha Negara pasal 2 disebutkan bahwa terdapat beberapa keputusan yang dikecalikan, artinya berbeda dengan keputusan tata usaha negara yang sebenarnya:
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Dalam Pasal 49 Undang-undang No. 5 Tahun 1986, Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku
Sebuah penetapan/keputusan juga harus dimaknai dalam bentuk Tindakan Faktual, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Artinya pejabat Tata Usaha Negara dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekesar dilihat dari adanya tindakan hukum dalam bentuk terbitnya sebuah beschikking akan tetapi penetapan juga dimaknai dalam bentuk dan atau Tindakan Faktual. Secara teoritis, Tindakan Faktual selama ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum pemerintah namun merupakan Tindakan Faktual yang dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.
Fiktif Negatif dan Positif
Fiktif Negatif pada prinsipnya diajukan dengan pemahaman bahwa badan atau pejabat tata usaha Negara menolak suatu permohonan dari seseorang atau badan hukum perdata untuk mendapatkan suatu keputusan dari pejabat atau badan tata usaha negara yang mana merupakan kewajibannya. Kata “menolak” disini mempunyai arti bahwa badan atau pejabat tata usaha Negara telah bersikap diam dan tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengeluarkan suatu keputusan. Dengan adanya penolakan dan sikap diam tersebut maka seseorang atau badan hukum perdata dapat mengajukan gugatan ke PTUN untuk menyatakan keputusan yang dimohonkan seharusnya diterima. (R. Indra, Juli 2019)
Dasar hukum pangajuan gugatan ini adalah Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 5 Tahun 1986, yaitu :
Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluar-kan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagai-mana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan dimaksud.
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersang-kutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Gugatan Fiktif Positif pada prinsipnya diajukan dengan pemahaman bahwa badan atau badan tata usaha negara telah mengabulkan suatu permohonan dari seseorang atau badan hukum perdata untuk mendapatkan suatu keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara. (R. Indra, Juli 2019)
Undang-Undang membedakan 2 (dua) bentuk permohonan yang dikabulkan oleh pejabat tata usaha negara untuk mendapatkan suatu keputusan:
Keputusan yang bersifat nyata (konkrit)
Keputusan tersebut benar-benar telah diberikan oleh orang atau badan hukum perdata dari badan atau pejabat tata usaha negara. Dasar hukum pengajuan gugatan ini adalah Pasal 53 ayat (1) UU PTUN yaitu :
Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengaju-kan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.
Keputusan yang bersifat abstrak
Keputusan belum benar-benar diberikan atau dipegang secara nyata (konkrit) oleh seseorang atau badan hukum perdata, padahal telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan permohonan untuk mendapatkan suatu keputusan kepada badan atau pejabat tata usaha negara. Dasar hukum pengajuan gugatan ini adalah Pasal 53 ayat (1) sampai (6) UU AP, yaitu :
Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan.
Untuk melaksanakan Pasal 53 ayat (1) sampai (6) UU AP tersebut Mahkamah Agung membuat pedoman hukum acaranya yang awalnya diatur dalam Perma No. 5 Tahun 2015, namun ketentuan tersebut telah dicabut dan diganti dengan Perma No. 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemrintahan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Objek Gugatan dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 jo Pasal 3 UU No 5 tahun 1986, dapat disimpulkan bahwa objek gugatan dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah: 1) Keputusan Tata Usaha Negara ; 2) Yang dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sebagaimana yang telah dierbarui dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Tata Usaha Negara pasal 2 dan pasal 49 disebutkan bahwa terdapat beberapa keputusan yang dikecualikan.
Yang di persamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara Sebagaimana yang disebut dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 dan Pasal 53 Undang-undang No. 30 Tahun 2014, dapat disimpulkan bahwa maksud dari yang dipersamakan dengan Keputusan tata Usaha Negara adalah fiktif negatif dan fiktif positif.
Fiktif Positif pada prinsipnya diajukan dengan pemahaman bahwa badan atau badan tata usaha negara telah mengabulkan suatu permohonan dari seseorang atau badan hukum perdata untuk mendapatkan suatu keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara.
Fiktif Negatif pada prinsipnya diajukan dengan pemahaman bahwa badan atau pejabat tata usaha Negara menolak suatu permohonan dari seseorang atau badan hukum perdata untuk mendapatkan suatu keputusan dari pejabat atau badan tata usaha negara yang mana merupakan kewajibannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ayi Solehudin, Praktek Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, ptun-palembang.go.id
Enrico Simajuntak, Perkara Fiktif Positif dan Permasalahan Hukumannya, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 6, No. 3 November 2017
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1993
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Ridwan, Beberapa Catatan tentang Peradilan Tata Usaha Negara di Indoensia, Jurnal Hukum, No. 20 vol. 9
SEJARAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TUNISIA
Nama : Wahyu Erman Hambali
Nim : 17103050051
SEJARAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TUNISIA
I. Pengantar
Tulisan ini merupakan review dari buku karya Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A., yang berjudul "Hukum (Perdata) Keluarga Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam", hlm. 15-77. Dan "Hukum Perkawinan dan Waris di Dunia Muslim Modern", hlm. 43-62.
1. Fakta Sejarah Lahirnya Undang-Undang
A. Indonesia
Undang-undang tentang hukum keluarga yang pertama lahir di indonesia setelah kemerdekaan adalah UU No. 22 tahun 1946. Kemudian akhir tahun 1991 lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia yang berisi tentang perkara Kewarisan, Perkawinan dan Perwakafan. KHI ini disebarluaskan berdasarkan Inpres No.1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, dan dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI No. 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
B. Tunisia
Undang-undang tentang hukum keluarga yang berlaku di Tunisia adalah Majjalat al-Ahwal al-Syakhsiyya (Code of Personal Status) tahun 1956. Undang-undang ini diberlakukan secara resmi di Tunisia pada tanggal 1 Januari 1957.
2. Fakta Sejarah Materi Pembaharuan
A. Indonesia
Umat muslim sebelum Indonesia merdeka banyak yang melakukan poligami dan talak dengan cara semena-mena. Dalam Islam memang memperbolehkan poligami tetapi ada syarat-syarat yang harus di lakukan terlebih dahulu. Setelah berlakunya stbl 1937 No.116 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Rancangan Ordonansi Perkawinan Tercatat yang berisi menganut prinsip monogami serta tidak boleh menjatuhkan talak di luar pengadilan.
Selain itu banyak juga muslim Indonesia melakukan pernikahan sirri/bawah tangan, kemudian setelah diatur dengan UU No. 22 tahun 1946 perkawinan harus dicatatkan termasuk juga pencatatan perceraian dan rujuk.
Persoalan wasiat wajibah dalam KHI dapat ditemukan dalam bab V pasal 194-209. Aturan mengenai wasiyat wajibah yang ada dalam KHI merupakan reformasi hukum, pemberian bagian harta warisan sebanyak 1/3 bagi anak angkat dan orang tua angkat sebagai bentuk penyesuaian ketetapan hukum berdasar atas kebiasaan masyarakat di Indoneisa.
Dalam fikih klasik tidak ditemukan adanya bagian untuk anak angkat dan orang tua angkat, tapi yang ada hanyalah ketentuan untuk memberikan kepada keluarga dekat. Namun kemudian masalah muncul untuk menentukan kerabat dekat yang mana yang akan menerima wasiat tersebut. Untuk menjawab hal ini, maka interpretasi (ijtihad) sangat diperlukan.
B. Tunisia
Perempuan yang usianya belum mencapai 20 tahun dilarang menikah, oleh karena itu harus ada persetujuan atau izin dari walinya. Jika walinya menolak maka dapat mengajukan izin ke pengadilan. Dalam fikih konvensional, Islam memperbolehkan adanya poligami, akan tetapi dalam undang-undang keluarga Tunisia menyebutkan bahwa beristri lebih dari seorang (poligami) dilarang (pasal 9).
3. Latar Belakang Fakta Sejarah Lahir
A.Indonesia
UU No 22 tahun 1946 pada awal diundangkan tidak ditujukan untuk seluruh wilayah Indonesia, hal ini dilatarbelakangi karena keadaan yang belum memungkinkan pada saat itu sehingga undang-undang tersebut hanya diberlakukan untuk Jawa dan Madura. Undang-undang ini mulai diterapkan ke seluruh wilayah Indonesia pada tahun 1954.
Latar belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam adalah adanya kebutuhan terhadap sumber hukum Islam yang tidak beragam (unifikasi). Sebab sumber yang seragam ini yang mengakibatkan munculnya berbagai masalah dalam proses pengambilan hukum.
B. Tunisia
Latar belakang undang-undang hukum keluarga tahun 1956 di Tunisia salah satunya untuk membangun negara modern. Terinspirasi oleh adanya reformasi hukum di Mesir, Sudan dan Syria. Kenyataan ini memotivasi para ahli hukum Tunisia untuk membuat undang-undang yang isinya catatan-catatan perbandingan antara hukum Maliki dan Hanafi, yang berjudul Laihat al-Majallat al-Ahkam al-Syar'iyya. Draft undang-undang Ini mendapat respon dari pemerintah, di mana kemudian pemerintah membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Muhammad Ja'it untuk merancang undang-undang secara resmi. Rancangan itu akhirnya diundangkan pada tahun 1956 dengan judul Majjalat al-Ahwal al-Syakhsiyya (Code of Personal Status) tahun 1956 yang terdiri dari 170 pasal dan terbagi dalam 10 buku.
4. Latar Belakang Fakta Materi Pembaharuan (turan baru)
A.Indonesia
Latar belakang Rancangan Ordonansi Perkawinan Tercatat adalah respon pemerintah Hindia Belanda terhadap tuntutan dari sejumlah organisasi wanita, seperti Kongres Wanita Indonesia (Kowani) tahun 1928. Salah satu isi dari rencana ini adalah monogami dan larangan talak diluar pengadilan.
Latar belakang materi pembaharuan tentang pencatatan perkawinan UU No 22 tahun 1946 adalah untuk melindungi hak-hak wanita dan mengurangi perkawinan Siri. UU ini merupakan kelanjutan dari stbl No.198 tahun 1995, dan pengganti stbl No. 348 tahun 1929 jo. stbl No. 47 tahun 1931, dan stbl No. 98 tahun 1933.
B. Tunisia
Latar belakang dilarangnya poligami di Tunisia berasal dari pemikiran para ahli hukum modern yang mengatakan bahwa laki-laki/suami dalam kondisi sosial dan perekonomian modern tidak mungkin dapat berbuat adil. Alasan lainnya adalah institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan tetapi kemudian dilarang setelah menjadi masyarakat yang berbudaya.
5. Evaluasi Target Pencapaian
Undang-undang perkawinan di Indonesia dan Tunisia setelah kelahirannya sudah sangat membantu dalm mengatur dan mengatasi permasalahan mengenai hukum keluarga Islam. Akan tetapi permasalahan baru selalu muncul setiap tahunnya. Oleh karena itu perlu ada pembaharuan tentang hukum keluarga yang sesuai yang dapat mengatasi permasalahan-permasalahan baru di masa sekarang ini.
Nim : 17103050051
SEJARAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TUNISIA
I. Pengantar
Tulisan ini merupakan review dari buku karya Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A., yang berjudul "Hukum (Perdata) Keluarga Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam", hlm. 15-77. Dan "Hukum Perkawinan dan Waris di Dunia Muslim Modern", hlm. 43-62.
1. Fakta Sejarah Lahirnya Undang-Undang
A. Indonesia
Undang-undang tentang hukum keluarga yang pertama lahir di indonesia setelah kemerdekaan adalah UU No. 22 tahun 1946. Kemudian akhir tahun 1991 lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia yang berisi tentang perkara Kewarisan, Perkawinan dan Perwakafan. KHI ini disebarluaskan berdasarkan Inpres No.1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, dan dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI No. 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
B. Tunisia
Undang-undang tentang hukum keluarga yang berlaku di Tunisia adalah Majjalat al-Ahwal al-Syakhsiyya (Code of Personal Status) tahun 1956. Undang-undang ini diberlakukan secara resmi di Tunisia pada tanggal 1 Januari 1957.
2. Fakta Sejarah Materi Pembaharuan
A. Indonesia
Umat muslim sebelum Indonesia merdeka banyak yang melakukan poligami dan talak dengan cara semena-mena. Dalam Islam memang memperbolehkan poligami tetapi ada syarat-syarat yang harus di lakukan terlebih dahulu. Setelah berlakunya stbl 1937 No.116 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Rancangan Ordonansi Perkawinan Tercatat yang berisi menganut prinsip monogami serta tidak boleh menjatuhkan talak di luar pengadilan.
Selain itu banyak juga muslim Indonesia melakukan pernikahan sirri/bawah tangan, kemudian setelah diatur dengan UU No. 22 tahun 1946 perkawinan harus dicatatkan termasuk juga pencatatan perceraian dan rujuk.
Persoalan wasiat wajibah dalam KHI dapat ditemukan dalam bab V pasal 194-209. Aturan mengenai wasiyat wajibah yang ada dalam KHI merupakan reformasi hukum, pemberian bagian harta warisan sebanyak 1/3 bagi anak angkat dan orang tua angkat sebagai bentuk penyesuaian ketetapan hukum berdasar atas kebiasaan masyarakat di Indoneisa.
Dalam fikih klasik tidak ditemukan adanya bagian untuk anak angkat dan orang tua angkat, tapi yang ada hanyalah ketentuan untuk memberikan kepada keluarga dekat. Namun kemudian masalah muncul untuk menentukan kerabat dekat yang mana yang akan menerima wasiat tersebut. Untuk menjawab hal ini, maka interpretasi (ijtihad) sangat diperlukan.
B. Tunisia
Perempuan yang usianya belum mencapai 20 tahun dilarang menikah, oleh karena itu harus ada persetujuan atau izin dari walinya. Jika walinya menolak maka dapat mengajukan izin ke pengadilan. Dalam fikih konvensional, Islam memperbolehkan adanya poligami, akan tetapi dalam undang-undang keluarga Tunisia menyebutkan bahwa beristri lebih dari seorang (poligami) dilarang (pasal 9).
3. Latar Belakang Fakta Sejarah Lahir
A.Indonesia
UU No 22 tahun 1946 pada awal diundangkan tidak ditujukan untuk seluruh wilayah Indonesia, hal ini dilatarbelakangi karena keadaan yang belum memungkinkan pada saat itu sehingga undang-undang tersebut hanya diberlakukan untuk Jawa dan Madura. Undang-undang ini mulai diterapkan ke seluruh wilayah Indonesia pada tahun 1954.
Latar belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam adalah adanya kebutuhan terhadap sumber hukum Islam yang tidak beragam (unifikasi). Sebab sumber yang seragam ini yang mengakibatkan munculnya berbagai masalah dalam proses pengambilan hukum.
B. Tunisia
Latar belakang undang-undang hukum keluarga tahun 1956 di Tunisia salah satunya untuk membangun negara modern. Terinspirasi oleh adanya reformasi hukum di Mesir, Sudan dan Syria. Kenyataan ini memotivasi para ahli hukum Tunisia untuk membuat undang-undang yang isinya catatan-catatan perbandingan antara hukum Maliki dan Hanafi, yang berjudul Laihat al-Majallat al-Ahkam al-Syar'iyya. Draft undang-undang Ini mendapat respon dari pemerintah, di mana kemudian pemerintah membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Muhammad Ja'it untuk merancang undang-undang secara resmi. Rancangan itu akhirnya diundangkan pada tahun 1956 dengan judul Majjalat al-Ahwal al-Syakhsiyya (Code of Personal Status) tahun 1956 yang terdiri dari 170 pasal dan terbagi dalam 10 buku.
4. Latar Belakang Fakta Materi Pembaharuan (turan baru)
A.Indonesia
Latar belakang Rancangan Ordonansi Perkawinan Tercatat adalah respon pemerintah Hindia Belanda terhadap tuntutan dari sejumlah organisasi wanita, seperti Kongres Wanita Indonesia (Kowani) tahun 1928. Salah satu isi dari rencana ini adalah monogami dan larangan talak diluar pengadilan.
Latar belakang materi pembaharuan tentang pencatatan perkawinan UU No 22 tahun 1946 adalah untuk melindungi hak-hak wanita dan mengurangi perkawinan Siri. UU ini merupakan kelanjutan dari stbl No.198 tahun 1995, dan pengganti stbl No. 348 tahun 1929 jo. stbl No. 47 tahun 1931, dan stbl No. 98 tahun 1933.
B. Tunisia
Latar belakang dilarangnya poligami di Tunisia berasal dari pemikiran para ahli hukum modern yang mengatakan bahwa laki-laki/suami dalam kondisi sosial dan perekonomian modern tidak mungkin dapat berbuat adil. Alasan lainnya adalah institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan tetapi kemudian dilarang setelah menjadi masyarakat yang berbudaya.
5. Evaluasi Target Pencapaian
Undang-undang perkawinan di Indonesia dan Tunisia setelah kelahirannya sudah sangat membantu dalm mengatur dan mengatasi permasalahan mengenai hukum keluarga Islam. Akan tetapi permasalahan baru selalu muncul setiap tahunnya. Oleh karena itu perlu ada pembaharuan tentang hukum keluarga yang sesuai yang dapat mengatasi permasalahan-permasalahan baru di masa sekarang ini.
Langganan:
Postingan (Atom)
SEJARAH PEMBARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA
Nama : Wahyu Erman Hambali NIM : 17103050051 Prodi/Kelas : Hukum Keluarga Islam/C SEJARAH PEMB...
-
RESENSI BUKU PEDOMAN PELAKSAAN TUGAS HAKIM TINGGI PERDILAN AGAMA Resensi ini disusun guna memenuhi tugas pengganti UAS mata kuli...