Selasa, 29 Oktober 2019

PERKAWINAN TIDAK DICATATKAN PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (PROBLEMATIKA NIKAH SIRRI/NIKAH BAWAH TANGAN)

PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN
Dosen Pengampu : Drs. Supriatna, M. Si.

















Oleh :
Wahyu Erman Hambali (17103050051)



HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2019


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Pencatatan perkawinan merupakan salah satu prinsip hukum perkawinan nasional yang bersumberkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia, eksistensi prinsip pencatatan perkawinan terkait dengan dan menentukan kesahan suatu perkawinan, artinya selain mengikuti ketentuan masing-masing hukum agamanya atau kepercayaan agamanya, juga sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Oleh karena itu pencatatan dan pembuatan akta perkawinan merupakan suatu kewajiban dalam peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia. Namun dalam praktiknya, kewajiban pencatatan dan pembuatan akta perkawinan menimbulkan makna hukum ambiguitas, karena kewajiban pencatatan dan pembuatan akta perkawinan bagi setiap perkawinan dianggap hanya sebagai kewajiban administratif belaka, bukan penentu kesahan suatu perkawinan, sehingga pencatatan perkawinan merupakan  hal  yang  tidak  terkait  dan  menentukan  kesahan  suatu  perkawinan.  Meskipun  perkawinan tersebut dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya atau kepercayaan agamanya, tetapi tidak dicatat, perkawinan tersebut dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak dicatat ini menyebabkan suami isteri dan anak-anak yang dilahirkan tidak memperoleh perlindungan hukum

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa aturan mengenai pencatatan pernikahan?
2.      Apa problematika nikah yang tidak dicatatkan?
3.      Bagaimana perspektif sah tidaknya nikah yang tidak dicatatkan?                                     

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pencatatan Perkawinan

        Tujuan utama pencatatan perkawinan adalah demi  mewujudkan ketertiban administrasi perkawinan dalam masyarakat di samping untuk menjamin tegaknya hak dan kewajiban suami istri.  hal ini merupakan politik hukum negara yang bersifat preventif untuk mengkoordinasi masyarakatnya terwujudnya ketertiban dan keteraturan dalam sistem kehidupan, termasuk dalam masalah ketidakteraturan dan perbedaan antara suami istri. karena itu keterlibatan negara dalam mengatur perkawinan dalam bentuk pencatatan merupakan suatu keharusan.
Setelah dikeluarkannya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pencatatan perkawinan menjadi persyaratan yang penting dalam melangsungkan perkawinan. Ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2, yang menyatakan: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]
Dari ketentuan Pasal 2 UU No. 1 tahun 1974 diatas, sudah jelas bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya setiap perkawinan harus diikuti dengan pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila kedua ayat dalam Pasal 2 dihubungkan satu sama lainnya, maka dapat dianggap bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian penting yang menentukan pula kesahan suatu perkawinan, selain mengikuti ketentuan dan syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.[2]
Pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN)   sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,  Talak dan Rujuk. Sedangkan tata cara pencatatan nya berpedoman kepada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 menentukan bahwa perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat yang dihadiri oleh dua orang saksi. Fungsi pencatatan disebutkan pada angka 4.b. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 " pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat surat keterangan, atau akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan."
Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah tahun 1975 mengatur bahwa perkawinan harus dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat yang dihadiri oleh dua orang saksi.  Kemudian dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) dinyatakan bahwa sesaat sesudah perkawinan dilangsungkan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat. Dengan penandatanganan akta perkawinan tersebut, perkawinan mereka telah tercatat secara resmi. Selanjutnya menurut Pasal 13 ayat (2), kepada masing-masing suami istri diberikan kutipan akta perkawinan tersebut. Dengan diperolehnya kutipan akta perkawinan itu perkawinan mereka telah dinyatakan sebagai perkawinan yang mempunyai hak mendapat pengakuan dan perlindungan hukum.
Perintah undang-undang untuk menjalankan perkawinan berlaku juga bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, hanya saja bedanya bahwa pencatatan perkawinan bagi umat Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan, sedangkan bagi bangsa Indonesia yang beragama bukan Islam pencatatan perkawinan yang dilakukan di Kantor Catatan Sipil.
Ketentuan tentang perintah pencatatan terhadap suatu perbuatan hukum, yang dalam hal ini adalah perkawinan, sebenarnya tidak diambil dari ajaran Hukum Perdata Belanda (BW) atau Hukum Barat, tetapi diambil dari ketentuan Allah yang dicantumkan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 282 : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan suatu transaksi dalam waktu yang tidak ditentukan (tidak tunai) hendaklah kamu mencatatnya...”

B.     Problematika Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan

Terdapat permasalahan yang menyinggung dengan perkawinan yang tidak dicatatkan, permasalahan itu adalah nikah sirri atau istilah lainnya nikah di bawah tangan. Nikah  sirri artinya adalah nikah rahasia, lazim juga disebut dengan nikah bawah tangan atau nikah liar. Dalam fikih Maliki nikah sirri diartikan sebagai nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat. Mazhab Maliki tidak membolehkan adanya nikah sirri, karena nikahnya dapat dibatalkan dan pelakunya dapat diancam dengan hukuman had berupa cambuk atau rajam. Mazhab Syafi’i dan Hanafi juga tidak memperbolehkan nikah sirri. Khalifah umar bin Khattab pernah mengancam pelaku nikah sirri dengan humkam had.[3] Larangan nikah sirri didasarkan kepada beberapa hadis, antara lain berbunyi, “a’alinuu haadza an-nikaah waj’aluuhu fil masajid wadhribuu ‘alaihi bidz-dzufuuq” (Hadis riwayat Tirmidzidan Aisyah), artinya “umumkanlah nikah ini dan laksanakanlah di masjid serta ramaikanlah dengan menabuh gendang.
Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa untuk mengetahui apakah pada suatu perkawinan itu terdapat unsur sirri atau tidak, dapat dilihat dari tiga indikator yang harus selalu menyertai suatu perkawinan legal.[4] Apabila salah satu faktor saja tidak terpenuhi, perkawinan itu dapat diidentifikasi sebagai perkawinan sirri. Tiga indikator itu adalah, pertama, subjek hukum akad nikah yang terdiri dari calon suami, calon istri, dan wali nikah adalah orang yang berhak sebagai wali, dan dua orang saksi. Kedua, kepastian hukum dari pernikahan tersebut, yaitu ikut hadirnya Pegawai Pencatat Nikah pada saat akad nikah dilangsungkan, dan Ketiga, walimatul ‘ursy yaitu suatu kondisi yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa diantara kedua calon suami istri tadi telah resmi menjadi suami-istri. Pada indikator ketiga inilah letak hakikat filosofis dari hadits Rasulullah Saw tersebut.
Bagaimana halnya dengan istilah perkawinan di bawah tangan? Apakah sama dengan nikah siri atau terdapat perbedaan yang spesifik dari nikah siri?
Istilah perkawinan dibawah tangan muncul setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan dibawah tangan yang disebut juga sebagai perkawinan liar pada prinsipnya adalah perkawinan yang menyalahi hukum, karena perkawinannya dilakukan di luar ketentuan hukum perkawinan yang berlaku secara positif di Indonesia. Selanjutnya, oleh karena perkawinan dibawah tangan tidak mengikuti aturan hukum yang berlaku, perkawinan semacam itu tidak mempunyai kepastian dan kekuatan hukum dan karenanya tidak dapat pula dilindungi oleh hukum.
Perkawinan yang dilakukan secara siri atau perkawinan dibawah tangan, tidak selalu merupakan perkawinanan  yang tidak sah baik dilihat dari aspek hukum Islam maupun dari aspek hukum positif. Kalau  pemikiran dan pendapat yang mengatakan bahwa setiap perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur dalam hukum Islam dapat disepakati, maka perkawinan itu sah baik menurut hukum Islam maupun menurut hukum positif. Hal  itu karena  dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa keabsahan suatu perkawinan ialah apabila dilakukan sesuai dengan ajaran agama orang yang melakukan perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan siri atau perkawinan dibawah tangan semacam ini apabila telah memenuhi syarat dan rukun nikah menurut hukum Islam, maka hukumnya    adalah sah secara hukum, baik Islam maupun hukum positif.   Hanya  saja,  perkawinan itu tidak dicatatkan sehingga dikatakan nikah dibawah tangan.
Kemudian terdapat permasalahan yang mulai timbul dari pertanyaan bagaimana pernikahan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan tahun 1974? Apakah pernikahan mereka tidak dianggap?
Pernikahan yang dilakukan sebelum diundangkannya Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 dapat disahkan melalui Permohonan Isbat Nikah atau pengesahan nikah ke Pengadilan Agama.[5] Ketentuan yang mengatur tentang isbat nikah tercantum dalam pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : "Isbat nikah yang dapat diajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan:
a.       Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
b.      Hilangnya  Akta Nikah.
c.       Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d.      Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
e.       Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Kemudian dilanjutkan dengan ayat (4) yang berbunyi “yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.”
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor  3 tahun 2006 Pasal 9 huruf (a) angka 22, diatur pula tentang pengesahan perkawinan bagi perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan aturan tersebut sama dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang berbunyi “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: a. Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syariah, antara lain: 22. Pernyataan  tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.”[6]
Dengan  demikian, sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh ketentuan di atas, bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan dapat diajukan permohonan isbat atau pengesahan nikah ke Pengadilan Agama.  Akan  tetapi karena undang-undang tidak memberi sinyal kebolehan mengisbatkan perkawinan yang dilakukan setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, meskipun perkawinan tersebut telah dilakukan sesuai dengan ajaran hukum Islam tetapi tidak dicatatkan, maka perkawinan tersebut tidak dapat diisbatkan, karena demikianlah perintah undang-undang.

C.    Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan

Pencatatan  perkawinan bukanlah merupakan syarat sahnya perkawinan, melainkan hanya sebagai syarat kelengkapan administrasi perkawinan. Sahnya perkawinan dilakukan menurut cara berdasarkan aturan agama dan keyakinan kedua belah pihak yang melakukan perkawinan. Dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun pihak-pihak lainnya. Suatu perkawinan yang tidak tercatat dalam Akta Nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapat kepastian hukum. Begitu pula segala akibat yang timbul dari perkawinan tidak dicatat itu.[7]
Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidaklah mengganggu keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum Islam karena sekedar menyangkut administratif.  hanya saja jika suatu perkawinan tidak dicatatkan,  maka suami istri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah.  akibatnya, dilihat dari aspek yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum  (no legal force). oleh karena itu,   perkawinan tersebut tidak dilindungi oleh hukum,  dan bahkan dianggap tidak pernah ada/ never existed.[8]
Permasalahan pencatatan perkawinan dapat diselesaikan dengan isbat nikah di Pengadilan Agama, akan tetapi hanya berlaku bagi pernikahan yang dilangsungkan sebebum di undangkannya undang-undang tentang perkawinan.
Jika tinjau dari aspek politis dan sosiologis, tidak mencatatkan suatu perkawinan akan menimbulkan dampak sebagai berikut[9] :
a.       Masyarakat muslim Indonesia dipandang tidak mempedulikan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bidang hukum,  yang pada akhirnya sampai pada anggapan bahwa pelaksanaan ajaran Islam jam tidak membutuhkan keterlibatan agama,   yang pada akhirnya laki mengusung pandangan bahwa agama   dipisahkan dari kehidupan kenegaraan, yang dikenal dengan istilah sekularisme
b.      Akan mudah dijumpai perkawinan dibawah tangan, yang hanya peduli pada unsur agama saja dibanding unsur tata cara pencatatan perkawinan.
c.    Apabila terjadi wanprestasi terhadap janji perkawinan, maka peluang untuk putusnya perkawinan akan terbuka secara bebas sesuka hati suami atau istri, tanpa ada akibat hukum apa-apa, sehingga hampir semua kasus tampak pada wanita/istri dan anak-anak.
Dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, Syekh Jaad  al-Haq Ali Jaad al-Haq membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua kategori:[10]
1.      Peraturan syara', yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh syari'at Islam seperti yang telah dirumuskan oleh para pakarnya dalam buku-buku fiqh dari berbagai mazhab yang pada intinya adalah, kemestian adanya ijab dan kabul dari masingmasing dua orang yang berakad (wali dan calon suami) yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukkan telah terjadinya ijab dan kabul yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan akad menurut hukum syara', serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah balig, berakal lagi beragama Islam di mana dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab dan kabul tersebut. Dua orang saksi hendaklah mengerti betul tentang isi ijab dan kabul itu, serta syarat-syarat lainnya seperti yang telah dibentangkan dalam kajian fiqh.
Oleh ulama besar ini, ketentuan-ketentuan tersebut dianggap sebagai unsur-unsur pembentuk bagi akad nikah. Apabila unsur. unsur pembentuknya seperti diatur dalam syariat Islam itu telah secara sempurna dapat dipenuhi, maka menurutnya, akad nikah itu secara syara' telah dianggap sah sehingga halal bergaul sebagaimana layaknya suami-istri yang sah, dan anak dari hubungan suami-istri itu sudah dianggap sebagai anak yang sah.
2.      Peraturan yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan di kalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Secara administratif, ada peraturan yang mengharuskan agar suatu pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kegunaannya agar sebuah lembaga perkawinan yang mempunyai tempat yang sangat penting dan strategi dalam masyarakat Islam, bisa dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, sebagai antisipasi dari adanya pengingkaran adanya akad nikah oleh seorang suami di belakang hari, yang meskipun pada dasarnya dapat dilindungi dengan adanya para saksi tetapi sudah tentu akan lebih dapat dilindungi lagi dengan adanya pencatatan resmi di lembaga yang berwenang untuk itu. Menurut Undang-undang Perkawinan Republik Arab Mesir Nomor 78 Tahun 1931, tidak akan didengar suatu pengaduan tentang perkawinan atau tentang hal-hal yang didasarkan atas perkawinan, kecuali berdasarkan adanya pencatatan akad nikah atau adanya dokumen resmi pernikahan Namun demikian, menurut fatwa Syekh Jaad al-Haq Ali Jaad al Haq, tanpa memenuhi peraturan perundangundangan itu, secara syar' i nikahnya sudah dianggap sah, apabila telah melengkapi Segala syarat dan rukunnya seperti diatur dalam syari 'at Islam.
Fatwa Syekh al-Azhar tersebut, tidak bermaksud agar seseorang boleh dengan seenaknya saja melanggar undang undang di satu negara, sebab dalam fatwa beliau tetap mengingatkan pentingnya pencatatan nikah, beliau mengingatkan agar pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beliau menegaskan, bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur pernikahan adalah hal yang mesti dilaksanakan oleh setiap muslim yang mengadakan perkawinan sebagai antisipasi bilamana diperlukan berurusan dengan lembaga resmi pengadilan. Misalnya, jika di kemudian hari salah satu dari suami-istri mengingkari perkawinan atau pengingkaran itu muncul ketika akan membagi harta warisan di antara ahli-ahli waris.[11]
Lebih jelas lagi, dalam buku al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu oleh Wahbah az-Zuhaili secara tegas ia membagi syarat nikah menjadi syarat syar'i dan syarat tawsiqy. Syarat syar'i, maksudnya suatu syarat di mana keabsahan suatu ibadah atau akad tergantung kepadanya. Sedangkan syarat Tawsiqy adalah sesuatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidakjelasan di kemudian hari. Syarat tawsiqy bukan merupakan syarat sahnya suatu perbuatan tetapi sebagai bukti di kemudian hari atau untuk menertibkan suatu perbuatan. Misalnya, hadirnya dua orang saksi dalam akad jual beli adalah sebagai syarat tawsiqy bagi akad jual beli. Dalam hal ini, syarat dua orang saksi fungsinya sebagai bukti di belakang hari bahwa akad jual beli memang benar telah terjadi. Syarat adanya dua orang saksi dalam berbagai bentuk akad adalah termasuk ke dalam kategori syarat semacam ini, kecuali kehadiran dua orang saksi untuk akad nikah adalah syarat syar'i karena merupakan syarat sahnya perkawinan di samping sebagai syarat tawsqy. Akad nikah tidak sah tanpa dihadiri dua orang saksi. Contoh syarat tawsiqy dalam AlQur'an adalah syarat penulisan jual beli dengan tidak tunai seperti ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 282. Secara tegas dalam ayat tersebut Allah memerintahkan: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah (seperti berjual beli, berutang piutang atau sewamenyewa, dan sebagainya) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ...'. Kemudian pada ayat berikutnya (ayat 283 surah yang sama) Allah berfirman: ”jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan ( jaminan) yang dipegang ( oleh yang berpiutang). " [12]
Perbedaan yang tajam antara syarat syar'i dan syarat tawsiqy sudah terlihat dalam sejarah perkembangan hukum Islam, semenjak adanya peraturan-peraturan tambahan yang dibuat oleh undangundang di satu negara. Dalam berbagai literatur fiqh sering ditemukan ungkapan yang mengatakan: ”Sah menurut agama, tidak sah menurut hukum di pengadilan. " Untuk mengungkapkan perbuatan hukum seseorang yang telah memenuhi syarat syar'i-nya, tetapi melanggar ketentuan undangundang. Namun demikian, adanya perbedaan pengertian tersebut bukan berarti hanya perlu mementingkan yang satu dan mengabaikan yang lain. Sebab, tindakan mengabaikan syarat tawsiqy bisa berakibat negatif bagi kehidupan.
Dengan berpegang kepada fatwa Syekh Jaad al-Haq Ali  Jaad 'al-Haq dan apa yang dikemukakan Wahbah az-Zuhaili tersebut: petugas yang berwenang dapat membedakan mana di antara ketentuan perundang-undangan yang memang ada pengaruhnya erhadap sah atau batalnya pernikahan dan mana yang hanya merupakan syarat administratif belaka, tanpa ada pengaruhnya terhadap sah dan batalnya suatu perkawinan.[13]


BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Pencatatan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu pengaturan mengenai hal tersebut. Pencatatan perkawinan diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”Apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan, maka akan dikhawatirkan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak.
Problematika seperti nikah sirri atau nikah di bawah tangan masih sering terjadi di masyarakat. Walaupun pencatatan perkawinan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan secara agama, alangkah lebih bagus jika perkawinan tersebut dicatatkan, agar punya bukti yang otentik dan diakui oleh negara.
Penjelasan Umum Angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang fungsi Pencatatan Perkawinan telah mereduksi kewajiban melakukan pencatatan dan pembuatan Akta Perkawinan atau Akta Nikah ini, yang menyamakan pencatatan setiap perkawinan dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, seperti kelahiran dan kematian, sehingga kewajiban pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor  1 Tahun 1974 ditafsirkan sebagai kewajiban administratif  belaka, yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan bukan merupakan syarat yang menentukan kesahannya suatu perkawinan. Adapun hal yang menentukan sahnya suatu perkawinan yaitu berdasarkan syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh hukum agamanya atau kepercayaan agamanya dari pasangan calon mempelai.


DAFTAR PUSTAKA


 

Drs. H. M. Ansshary MK, S. M. (2010). Hukum Perkawinan Di Indonesia (Masalah-Malsalah Krusial). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prof. Dr. Satria Effendi M. Zein, M. (2010). Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah). Jakarta : Kencana.
Usman, R. (2017). Makna Pencatatan Perkawinan Dalam PeraturanPerundang-Undangan Perkawinan di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 14 No. 3.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor  3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.


[1] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[2] Rachmadi Usman, “Makna Pencatatan Perkawinan Dalam PeraturanPerundang-Undangan Perkawinan di Indonesia,” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 14 No. 3, (September, 2017), hlm. 256.
[3] Drs. H. M. Ansshary MK, S. M. "Hukum Perkawinan Di Indonesia (Masalah-Malsalah Krusial)." Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (2010), hlm. 25.
[4] Ibid.,
[5] Prof. Dr. Satria Effendi M. Zein, MA., “Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah),” Jakarta : Kencana, (2010), hlm. 37.
[6] Undang-Undang Nomor  3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
[7] Rachmadi Usman, “Makna Pencatatan Perkawinan Dalam PeraturanPerundang-Undangan Perkawinan di Indonesia,” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 14 No. 3, (September, 2017), hlm. 257.
[8] Drs. H. M. Ansshary MK, S. M. "Hukum Perkawinan Di Indonesia (Masalah-Malsalah Krusial)." Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (2010), hlm. 28.
[9] Ibid., hlm. 30.
[10] Prof. Dr. Satria Effendi M. Zein, MA., “Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah),” Jakarta : Kencana, (2010), hlm. 33.
[11] Ibid., hlm 35.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm 36.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEJARAH PEMBARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA

Nama                : Wahyu Erman Hambali NIM                 : 17103050051 Prodi/Kelas      : Hukum Keluarga Islam/C SEJARAH PEMB...